JAKARTA – Indonesia sebagai negara yang sedang membangun harus selalu melakukan antisipasi terhadap segala sesuatu yang dapat menghambat tercapainya pembangunan yang direncanakan. Pembangunan yang kita laksanakan saat ini tidak boleh terlepas dari arah dan tujuan pembangunan yang telah digariskan Negara. Pembangunan berkelanjutan, sebagai suatu spirit pelaksanaan pembangunan di negara ini, harus dilaksanakan secara multi dimensional.
Demikian disampaikan Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti M Hatta dalam Conference Environmental Talk dengan tema Toward A Better Green Living di Universitas Mercubuana di Jakarta (09/03/11).
Dilanjutkan, dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi yang merupakan pilar-pilar pendukung di dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat terus-menerus atau berkelanjutan ini, tidak boleh diabaikan dan harus dipertimbangkan dan dilaksanakan secara seimbang.
“Berbicara dalam dimensi lingkungan, dengan melihat kepada kondisi negara dan dunia seperti saat ini, kita harus menyadari bahwa masih sangat banyak permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Salah satu yang menjadi sorotan nasional dan internasional saat ini adalah masalah perubahan iklim global, yang dampaknya sudah mulai kita rasakan,” katanya.
Dijelaskan, pemanasan global telah mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan, pemanasan global dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta memengaruhi berbagai ekosistem, misalnya ekosistem pantai.
Dilanjutkannya, dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam COP-15 UNFCCC di Copenhagen Desember 2009, Indonesia secara sukarela menargetkan penurunan emisi sebesar 26 persen dari Business as Usual (BAU) pada 2020 dengan pembiayaan dari APBN murni. Apabila Indonesia mendapatkan dukungan pendanaan dari luar negeri, maka penurunan ini akan bertambah 15 persen menjadi 41 persen pada tahun 2020. Dari angka target penurunan tersebut, kegiatan di sektor infrastruktur dapat berperan dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari penggunaan energi.
Diungkapkan, dalam Copenhagen Accord juga dicatat, diperlukan upaya untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah pengaruh antropogenik berbahaya yang dapat mengganggu sistem iklim, dan kenaikan temperatur global seharusnya di bawah 20C, berbasis keadilan dan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kerjasama jangka panjang dalam melawan perubahan iklim.
“Pelaksanaan penurunan emisi GRK (Gas Rumah Kaca-red) dapat dilakukan pada aktivitas industri, manufaktur, transportasi, kehutanan, konstruksi dan infrastruktur. Maka kegiatan dan aktifitas pada bangunan gedung, semenjak desain, konstruksi dan operasional, yang akan memberikan emisi GRK, dapat direduksi dengan cara melakukan pengelolaan dengan sebaik-baiknya. Beberapa pilihan untuk dilakukannya pengelolaan tersebut, diantaranya adalah rangkaian sertifikasi, monitoring dan pendampingan pada beberapa bangunan yang dianggap telah menjalankan konsep green building.”
Dalam kaitannya dengan Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (RAN PI), dikatakan, sektor infrastruktur merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya perubahan iklim mengharuskan infrastruktur lebih tahan terhadap kejadian iklim ekstrim.
Karena itu, sambungnya, faktor adaptasi perubahan iklim harus dimasukan dalam proses perencanaan pembangunan infrastruktur. Informasi perubahan iklim seperti kenaikan temperatur, perubahan proses penguapan, kelembaban, dan kadar air harus terintegrasi dalam desain, kode, dan standard infrastruktur fisik. Faktor mitigasi perubahan iklim juga diperlukan dalam aktivitasnya, yang meliputi konservasi energi, menggunakan bukan bahan perusak ozon dan bukan jenis GRK untuk refrigerant dan pemadam kebakaran, pengelolaan limbah dan efisiensi penggunaan air bersih.
Karena itu, diperlukan penelitian dari segenap ahli di bidang infrastruktur dan pelaksana properti. Tujuannya untuk melakukan analisa terhadap dampak anomali iklim terhadap bangunan gedung. Sehingga, dapat dipersiapkan bangunan gedung yang sudah mengantisipasi iklim ekstrim dalam rancangan, teknologi, dan operasionalnya. Untuk itu, diperlukan penentuan kriteria terhadap bangunan ramah lingkungan sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan. Terhadap pelaksanaan dari peraturan menteri ini, masih dibutuhkan standar dan benchmarking, misalnya dalam penggunaan energi dan konsumsi air.
“Bagi sektor infrastruktur, kebijakan Bangunan Ramah Lingkungan tersebut akan meningkatkan kualitas bangunan dan sektor bangunan di Indonesia, di samping menstimulasi permintaan akan bangunan yang lebih sustainable dan memberikan penghargaan guna meningkatkan kinerja dari bangunan tersebut, menyediakan standar kinerja bangunan yang lebih baik dan lengkap bagi pengembang dan pemilik bangunan, mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan bangunan yang berakibat bagi kerusakan lingkungan dan menurukan biaya dan tekanan kenaikan harga energi.”
*Press Release Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia*
JAKARTA – Indonesia sebagai negara yang sedang membangun harus selalu melakukan antisipasi terhadap segala sesuatu yang dapat menghambat tercapainya pembangunan yang direncanakan. Pembangunan yang kita laksanakan saat ini tidak boleh terlepas dari arah dan tujuan pembangunan yang telah digariskan Negara. Pembangunan berkelanjutan, sebagai suatu spirit pelaksanaan pembangunan di negara ini, harus dilaksanakan secara multi dimensional.
Demikian disampaikan Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti M Hatta dalam Conference Environmental Talk dengan tema Toward A Better Green Living di Universitas Mercubuana di Jakarta (09/03/11).
Dilanjutkan, dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi yang merupakan pilar-pilar pendukung di dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat terus-menerus atau berkelanjutan ini, tidak boleh diabaikan dan harus dipertimbangkan dan dilaksanakan secara seimbang.
“Berbicara dalam dimensi lingkungan, dengan melihat kepada kondisi negara dan dunia seperti saat ini, kita harus menyadari bahwa masih sangat banyak permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Salah satu yang menjadi sorotan nasional dan internasional saat ini adalah masalah perubahan iklim global, yang dampaknya sudah mulai kita rasakan,” katanya.
Dijelaskan, pemanasan global telah mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan, pemanasan global dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta memengaruhi berbagai ekosistem, misalnya ekosistem pantai.
Dilanjutkannya, dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam COP-15 UNFCCC di Copenhagen Desember 2009, Indonesia secara sukarela menargetkan penurunan emisi sebesar 26 persen dari Business as Usual (BAU) pada 2020 dengan pembiayaan dari APBN murni. Apabila Indonesia mendapatkan dukungan pendanaan dari luar negeri, maka penurunan ini akan bertambah 15 persen menjadi 41 persen pada tahun 2020. Dari angka target penurunan tersebut, kegiatan di sektor infrastruktur dapat berperan dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari penggunaan energi.
Diungkapkan, dalam Copenhagen Accord juga dicatat, diperlukan upaya untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah pengaruh antropogenik berbahaya yang dapat mengganggu sistem iklim, dan kenaikan temperatur global seharusnya di bawah 20C, berbasis keadilan dan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kerjasama jangka panjang dalam melawan perubahan iklim.
“Pelaksanaan penurunan emisi GRK (Gas Rumah Kaca-red) dapat dilakukan pada aktivitas industri, manufaktur, transportasi, kehutanan, konstruksi dan infrastruktur. Maka kegiatan dan aktifitas pada bangunan gedung, semenjak desain, konstruksi dan operasional, yang akan memberikan emisi GRK, dapat direduksi dengan cara melakukan pengelolaan dengan sebaik-baiknya. Beberapa pilihan untuk dilakukannya pengelolaan tersebut, diantaranya adalah rangkaian sertifikasi, monitoring dan pendampingan pada beberapa bangunan yang dianggap telah menjalankan konsep green building.”
Dalam kaitannya dengan Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (RAN PI), dikatakan, sektor infrastruktur merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya perubahan iklim mengharuskan infrastruktur lebih tahan terhadap kejadian iklim ekstrim.
Karena itu, sambungnya, faktor adaptasi perubahan iklim harus dimasukan dalam proses perencanaan pembangunan infrastruktur. Informasi perubahan iklim seperti kenaikan temperatur, perubahan proses penguapan, kelembaban, dan kadar air harus terintegrasi dalam desain, kode, dan standard infrastruktur fisik. Faktor mitigasi perubahan iklim juga diperlukan dalam aktivitasnya, yang meliputi konservasi energi, menggunakan bukan bahan perusak ozon dan bukan jenis GRK untuk refrigerant dan pemadam kebakaran, pengelolaan limbah dan efisiensi penggunaan air bersih.
Karena itu, diperlukan penelitian dari segenap ahli di bidang infrastruktur dan pelaksana properti. Tujuannya untuk melakukan analisa terhadap dampak anomali iklim terhadap bangunan gedung. Sehingga, dapat dipersiapkan bangunan gedung yang sudah mengantisipasi iklim ekstrim dalam rancangan, teknologi, dan operasionalnya. Untuk itu, diperlukan penentuan kriteria terhadap bangunan ramah lingkungan sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan. Terhadap pelaksanaan dari peraturan menteri ini, masih dibutuhkan standar dan benchmarking, misalnya dalam penggunaan energi dan konsumsi air.
“Bagi sektor infrastruktur, kebijakan Bangunan Ramah Lingkungan tersebut akan meningkatkan kualitas bangunan dan sektor bangunan di Indonesia, di samping menstimulasi permintaan akan bangunan yang lebih sustainable dan memberikan penghargaan guna meningkatkan kinerja dari bangunan tersebut, menyediakan standar kinerja bangunan yang lebih baik dan lengkap bagi pengembang dan pemilik bangunan, mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan bangunan yang berakibat bagi kerusakan lingkungan dan menurukan biaya dan tekanan kenaikan harga energi.”
*Press Release Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia*