Tondano – Sektor Pariwisata di Kabupaten Minahasa dinilai masih berjalan pincang. Upaya pemerintah yang patut diapresiasi tidak didukung oleh tersedianya sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang seimbang. Belum lagi unsur budaya dan agama yang belum padu dalam suatu sistem perencanaan yang matang.
Konsep terpadu yang dimaksudkan disini bukan sekedar menggelar agenda keagamaan dan budaya secara hampir bersamaan, akan teapi membutuhkan proses waktu untuk mengakar di dalam diri setiap masyarakat Minahasa. Dalam hal ini Pemkab Minahasa harus kembali mencontohi beberapa daerah di Provinsi Bali.
Jika masyarakat Minahasa dikatakan sudah sadar wisata, pasti tidak akan ada faslitas publik yang dirusak. Dalam hal ini sudah banyak contoh orang dengan mental perusak masih ada di Minahasa. Sebut saja fasilitas lampu hias di Taman Cita Waya Langwoan, yang baru beberapa bulan selesai dibangun namun sudah dirusak.
Pengamat Pariwisata Sulut Dr Drevy Malalantang SSi SE MPd MM kepada BeritaManado.com, Senin (1/5/2017) mengatakan bahwa Bali membangun sektor pariwisata dengan memadukan agama dan budaya selama puluhan tahun. Ini mustahil dilakukan Minahasa hanya dalam satu atau dua tahun saja.
“Dapat dikatakan disini bahwa sebelum agama ada di bumi nusantara termasuk Bali, budaya sudah mengakar lebih dahulu dalam diri nenek moyang. Ketika agama itu ada dan disebarluaskan, budaya yang sama juga tetap ada. Yang terjadi di Minahasa bisa dikatakan sebaliknya. Saat agama ada, budaya secara perlahan mulai luntur,” katanya.
Dijelaskannya, di zaman dahulu yang katanya belum ada manusia yang beragama, namun kehidupan masyarakat masih didominasi oleh nilai-nilai budaya. Tradisi mapalus (gotong royong), makan di daun, naik rumah baru, prosesi lamaran dan lain sebagainya, saat ini hampir tidak bisa dilihat lagi.
Saat ini boleh dikatakan semua manusia di Minahasa sudah memeluk agama, akan tetapi justeru nilai budaya leluhur boleh dibilang nyaris punah karena sebagian besar hanya dijumpai pada kehidupan orang-orang tua saja. Ini menjadi penting untuk disadari bahwa membangun pariwisata tidak selamanya menggunakan uang.
“Uang hanya media untuk memperlancar ide-ide brilian yang lahir dari sumber daya manusia pariwisata yang ada. Pertanyaannya, sudahkah pemerintah mencetak SDM pariwiata? Akan percuma kita promosi wisata sampai ke seluruh belahan bumi, namun tidak didukung oleh SDM pariwisata yang memadai,” tutur Malalantang. (frangkiwullur)
Tondano – Sektor Pariwisata di Kabupaten Minahasa dinilai masih berjalan pincang. Upaya pemerintah yang patut diapresiasi tidak didukung oleh tersedianya sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang seimbang. Belum lagi unsur budaya dan agama yang belum padu dalam suatu sistem perencanaan yang matang.
Konsep terpadu yang dimaksudkan disini bukan sekedar menggelar agenda keagamaan dan budaya secara hampir bersamaan, akan teapi membutuhkan proses waktu untuk mengakar di dalam diri setiap masyarakat Minahasa. Dalam hal ini Pemkab Minahasa harus kembali mencontohi beberapa daerah di Provinsi Bali.
Jika masyarakat Minahasa dikatakan sudah sadar wisata, pasti tidak akan ada faslitas publik yang dirusak. Dalam hal ini sudah banyak contoh orang dengan mental perusak masih ada di Minahasa. Sebut saja fasilitas lampu hias di Taman Cita Waya Langwoan, yang baru beberapa bulan selesai dibangun namun sudah dirusak.
Pengamat Pariwisata Sulut Dr Drevy Malalantang SSi SE MPd MM kepada BeritaManado.com, Senin (1/5/2017) mengatakan bahwa Bali membangun sektor pariwisata dengan memadukan agama dan budaya selama puluhan tahun. Ini mustahil dilakukan Minahasa hanya dalam satu atau dua tahun saja.
“Dapat dikatakan disini bahwa sebelum agama ada di bumi nusantara termasuk Bali, budaya sudah mengakar lebih dahulu dalam diri nenek moyang. Ketika agama itu ada dan disebarluaskan, budaya yang sama juga tetap ada. Yang terjadi di Minahasa bisa dikatakan sebaliknya. Saat agama ada, budaya secara perlahan mulai luntur,” katanya.
Dijelaskannya, di zaman dahulu yang katanya belum ada manusia yang beragama, namun kehidupan masyarakat masih didominasi oleh nilai-nilai budaya. Tradisi mapalus (gotong royong), makan di daun, naik rumah baru, prosesi lamaran dan lain sebagainya, saat ini hampir tidak bisa dilihat lagi.
Saat ini boleh dikatakan semua manusia di Minahasa sudah memeluk agama, akan tetapi justeru nilai budaya leluhur boleh dibilang nyaris punah karena sebagian besar hanya dijumpai pada kehidupan orang-orang tua saja. Ini menjadi penting untuk disadari bahwa membangun pariwisata tidak selamanya menggunakan uang.
“Uang hanya media untuk memperlancar ide-ide brilian yang lahir dari sumber daya manusia pariwisata yang ada. Pertanyaannya, sudahkah pemerintah mencetak SDM pariwiata? Akan percuma kita promosi wisata sampai ke seluruh belahan bumi, namun tidak didukung oleh SDM pariwisata yang memadai,” tutur Malalantang. (frangkiwullur)