Oleh: Ferley Bonifasius Kaparang (Advokat di Sulawesi Utara)
Dunia mungkin tidak akan sesemarak sekarang, andaikan perbedaan pandangan tidak menjaditradisi manusia. Mungkin karena tradisi manusia ini pulalah kaum filosof banyak yangmengkategorikan manusia sebagai mahkluk yang berwatak konflik.
Mengutip istilah sertapemikiran Mohamad Sobary dalam bukunya Kebudayaan Rakyat (Dimensi Politik dan Agama-hal. 86), bahwa Kembalikan Agama pada Publik, Ahli agama dan tokoh yang punya otoritastetap harus ada dan memang diperlukan, tetapi bebaskan rakyat dari intimidasi “salah” , “kafir” ,“Yahudi”, dan aneka ancaman neraka yang mengerikan.
Selebihnya, bebaskan juga agama daribeban-beban politik. Maka sangat menarik apabila pandangan serta pemikiran kita kali ini, kitautarakan sejenak untuk menengok dinamika hukum, sosial dan politik yang akhir-akhir inimewarnai bangsa ini.tidak bisa dipungkiri, kalau jalan menuju Roma, banyak.
Ditinjau dari tuanya petuah ini, makatak berlebihan pula jika ia dikategorikan sebagai sesuatu yang “akrab” dengan watak dasarmanusia yang gemar menggunakan cara alternatif.
Sebab, orang boleh puas karena bisamenuju Roma, tapi kepuasan itu tak akan bertahan lama kalau jalan yang menuju kesanahanya terhampar secara monoton. Itu-itu saja. Maka dengan beragam dan berbagai caradirenungkan oleh manusia, bagaimana caranya agar bisa “mendarat ke Roma lewat sejutapintu.Dalam kenyataannya, pepatah itu memang banyak dijadikan landasan bagi lahirnya beragamkehidupan.
Disinilah kemudian orang sering bertengkar perkara “cara” atau metode yang akandigunakan, yang satu sisi sering dianggap perkara simple, namun disisi lain diakui kuatpengaruhnya secara esensial. Dalam aspek hukum misalnya, perkara “jalan” menuju “keputusan” hukum seringkali dinilaisama “peliknya” dengan hakikat dari keputusan itu sendiri.
Menurut kalangan yang beritikadbaik terhadap hukum, pola ini dinilai bermanfaat bagi transparansinya kebenaran dan kekuatanhukum.
Akan halnya orang yang otaknya memang sudah sarat dengan hasrat untuk mencaricelah peluang untuk akal-akalan guna memainkan akal bulusnya, proses hukum dipandangsebagai tahap yang bisa dimanfaatkan untuk lolos dari jerat hukum itu sendiri.
Sebab, pada setiap tahap perkembangan/pentahapan hukum akan dimanfaatkan untukkepentingan dirinya. Maka itu dalam dunia hukum bisa melihat beberapa model apresiasimasyarakat. Pertama, model masyarakat yang melihat hukum sebagai salah satu lembagasosial yang bersifat mengayomi, mendidik dan melindungi masyarakat. Sementara yang kedua,adalah kalangan yang berpikir sebaliknya.
Mereka yang melihat aspek hukum dengan hukum,pikirannya akan didominasi oleh nafsu “mengelabuinya”, agar “kejahatannya” tak dikendalikanoleh hukum. Pada kalangan yang pertama, unsur taat dan patuh sangat mendominasikemauannya dalam berhubungan dengan hukum. Minimal, kaum ini akan melewati prosesbelajar sebagai bagian dari upayanya untuk memahami aturan main.
Lain halnya dengan kalangan kedua, kalaupun ia belajar hukum. Langkah ini lebih ditujukandalam rangka mencari “kelemahan” yang kira-kira bisa dimanfaatkan. Maka dalam prosesnyakendati sama-sama belajar, kalangan yang seperti ini seringkali lebih kreatif.
Walaupunlangkahnya bermuatan destruktif merusak. Karena hasrat yang demikian inilah, merekamemiliki dan menyusun strategi dalam berhadapan dengan aspek hukum.
Di era 80’an – 90’an, kita pernah diramaikan dengan film-film laga seperti Agen James Bond007, L.A. Law, The A Team, The Godfather dan sejenisnya, kita akan melihat bagaimana trik-trikkaum “pengacau” itu meluncur untuk mengelabui hukum. Bahkan tindakannya sudah tricking onthe tric trik, dalam rangka mensiasati hukum.
Dalam legenda Mafia, kita barangkali masih ingat bagaimana hal-hal tersebut dengan lihai dimainkan dalam beragam aspek oleh manusia modelAl Capone, Pablo Escobar dan kawan-kawannya yang dijuluki the untouchable – yang taktersentuh (hukum).Berbeda dengan pengelabuan hukum tersebut, di ranah agama juga sering dijumpai denganpemelintiran tafsir agama yang sejatinya merupakan “hak Tuhan”.
Akhir-akhir ini duniapemberitaan nasional diwarnai oleh isu-isu penistaan oleh segelintir “pemimpin” yangmenampilkan kebesarannya dengan mengklaim memiliki berjuta-juta umat untuk menekanpenguasa dengan tujuan tertentu yang mereka anggap “mulia”.
Mereka menyambutnya denganriuh dan sangat diagung-agungkan sehingga pemimpin tersebut dimata mereka selevel denganTuhan. Biasanya, dalam masyarakat yang dinamis, dimana perkembangan dan kemajuan sedangdipacu untuk ditingkatkan, kalangan ini akan lebih jelih melihat “peluang”.
Sebab, dalammasyarakat yang demikian, pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas dibanding perangkat-perangkat lunaknya, termasuk Hukum. Disini “Kaum penyimpang” selalu melihat kemungkinanuntuk “berbuat” dengan leluasa.Menarik untuk disimak korelasinya dengan berbagai peristiwa hukum di Indonesia saat ini, kitamasih menyaksikan betapa ada saja, bagian dari hukum yang belum mengimbangi perkembangan masyarakat yang sejatinya memiliki perbedaan.
Para godfather Indonesia yang begitu leluasanya mempengaruhi hukum secara gampang mengeksploitasi inefisiensi politiksaat ini untuk mendapatkan keuntungan.
Secara nyata yang saat ini sedang terjadi, di satu sisimereka menampilkan suatu fakta ukuran yang benar menyangkut kontribusi mereka pada konteks pembangunan formal, namun disisi yang lain mereka menancapkan kuku-kukukekuasaan dari segala aspek dalam mempengaruhi kemurnian hukum serta kesucian politik demokrasi dengan tatanan-tatanan yang sengaja mereka benturkan dengan tirai agama. Siapayang jadi korban? Siapa yang dimanfaatkan? Di sisi inilah yang saat ini menjadi lampu sorot masyarakat luas yang saat ini terpecah belah akibat ulah mereka yang memanfaatkankelompok-kelompok radikal dan membenturkannya dengan masyarakat.
Entah mereka itu siapa, yang pasti para godfather saat ini sedang memainkan dadu perpecahan demi tujuanakhir mereka yaitu menguasai semua aspek yang dianggap “gendut” dengan jalur “kejahatan”.
Pada satu sisi hal seperti ini memang sulit dinafikan, tapi membiarkan hal ini begitu saja tentukurang bijak. Maka sepatutnya dalam kondisi yang demikian ini, tingkat kewarasan kita dalammenyikapi setiap kejadian yang akhir-akhir ini secara beruntun terjadi sepatutnya dilipatgandakan.
Karena jangan heran trick mereka untuk melancarkan kejahatan kerap kalidijalankan secara luwes dan unpredictable atau tak terduga.
Dan jangan tidak percaya, bahwa bukan mustahil kejahatan-kejahatan tersebut diawali dengancara propaganda yang dikemas lewat opini dan pemberitaan, sehingga sangatlah mudahmeyakinkan publik, hal ini tidak lain adalah pola terselubung dimana kebohongan yang diulang-ulang akhirnya juga akan menjadi “kebenaran” sehingga konflik horizontal yang di design olehtangan-tangan tersembunyi yang memanfaatkan kondisi sosial, politik serta hukum di negerikita saat ini dikhawatirkan akan meletup. tetap waspada. (***/risatsanger)
Oleh: Ferley Bonifasius Kaparang (Advokat di Sulawesi Utara)
Dunia mungkin tidak akan sesemarak sekarang, andaikan perbedaan pandangan tidak menjaditradisi manusia. Mungkin karena tradisi manusia ini pulalah kaum filosof banyak yangmengkategorikan manusia sebagai mahkluk yang berwatak konflik.
Mengutip istilah sertapemikiran Mohamad Sobary dalam bukunya Kebudayaan Rakyat (Dimensi Politik dan Agama-hal. 86), bahwa Kembalikan Agama pada Publik, Ahli agama dan tokoh yang punya otoritastetap harus ada dan memang diperlukan, tetapi bebaskan rakyat dari intimidasi “salah” , “kafir” ,“Yahudi”, dan aneka ancaman neraka yang mengerikan.
Selebihnya, bebaskan juga agama daribeban-beban politik. Maka sangat menarik apabila pandangan serta pemikiran kita kali ini, kitautarakan sejenak untuk menengok dinamika hukum, sosial dan politik yang akhir-akhir inimewarnai bangsa ini.tidak bisa dipungkiri, kalau jalan menuju Roma, banyak.
Ditinjau dari tuanya petuah ini, makatak berlebihan pula jika ia dikategorikan sebagai sesuatu yang “akrab” dengan watak dasarmanusia yang gemar menggunakan cara alternatif.
Sebab, orang boleh puas karena bisamenuju Roma, tapi kepuasan itu tak akan bertahan lama kalau jalan yang menuju kesanahanya terhampar secara monoton. Itu-itu saja. Maka dengan beragam dan berbagai caradirenungkan oleh manusia, bagaimana caranya agar bisa “mendarat ke Roma lewat sejutapintu.Dalam kenyataannya, pepatah itu memang banyak dijadikan landasan bagi lahirnya beragamkehidupan.
Disinilah kemudian orang sering bertengkar perkara “cara” atau metode yang akandigunakan, yang satu sisi sering dianggap perkara simple, namun disisi lain diakui kuatpengaruhnya secara esensial. Dalam aspek hukum misalnya, perkara “jalan” menuju “keputusan” hukum seringkali dinilaisama “peliknya” dengan hakikat dari keputusan itu sendiri.
Menurut kalangan yang beritikadbaik terhadap hukum, pola ini dinilai bermanfaat bagi transparansinya kebenaran dan kekuatanhukum.
Akan halnya orang yang otaknya memang sudah sarat dengan hasrat untuk mencaricelah peluang untuk akal-akalan guna memainkan akal bulusnya, proses hukum dipandangsebagai tahap yang bisa dimanfaatkan untuk lolos dari jerat hukum itu sendiri.
Sebab, pada setiap tahap perkembangan/pentahapan hukum akan dimanfaatkan untukkepentingan dirinya. Maka itu dalam dunia hukum bisa melihat beberapa model apresiasimasyarakat. Pertama, model masyarakat yang melihat hukum sebagai salah satu lembagasosial yang bersifat mengayomi, mendidik dan melindungi masyarakat. Sementara yang kedua,adalah kalangan yang berpikir sebaliknya.
Mereka yang melihat aspek hukum dengan hukum,pikirannya akan didominasi oleh nafsu “mengelabuinya”, agar “kejahatannya” tak dikendalikanoleh hukum. Pada kalangan yang pertama, unsur taat dan patuh sangat mendominasikemauannya dalam berhubungan dengan hukum. Minimal, kaum ini akan melewati prosesbelajar sebagai bagian dari upayanya untuk memahami aturan main.
Lain halnya dengan kalangan kedua, kalaupun ia belajar hukum. Langkah ini lebih ditujukandalam rangka mencari “kelemahan” yang kira-kira bisa dimanfaatkan. Maka dalam prosesnyakendati sama-sama belajar, kalangan yang seperti ini seringkali lebih kreatif.
Walaupunlangkahnya bermuatan destruktif merusak. Karena hasrat yang demikian inilah, merekamemiliki dan menyusun strategi dalam berhadapan dengan aspek hukum.
Di era 80’an – 90’an, kita pernah diramaikan dengan film-film laga seperti Agen James Bond007, L.A. Law, The A Team, The Godfather dan sejenisnya, kita akan melihat bagaimana trik-trikkaum “pengacau” itu meluncur untuk mengelabui hukum. Bahkan tindakannya sudah tricking onthe tric trik, dalam rangka mensiasati hukum.
Dalam legenda Mafia, kita barangkali masih ingat bagaimana hal-hal tersebut dengan lihai dimainkan dalam beragam aspek oleh manusia modelAl Capone, Pablo Escobar dan kawan-kawannya yang dijuluki the untouchable – yang taktersentuh (hukum).Berbeda dengan pengelabuan hukum tersebut, di ranah agama juga sering dijumpai denganpemelintiran tafsir agama yang sejatinya merupakan “hak Tuhan”.
Akhir-akhir ini duniapemberitaan nasional diwarnai oleh isu-isu penistaan oleh segelintir “pemimpin” yangmenampilkan kebesarannya dengan mengklaim memiliki berjuta-juta umat untuk menekanpenguasa dengan tujuan tertentu yang mereka anggap “mulia”.
Mereka menyambutnya denganriuh dan sangat diagung-agungkan sehingga pemimpin tersebut dimata mereka selevel denganTuhan. Biasanya, dalam masyarakat yang dinamis, dimana perkembangan dan kemajuan sedangdipacu untuk ditingkatkan, kalangan ini akan lebih jelih melihat “peluang”.
Sebab, dalammasyarakat yang demikian, pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas dibanding perangkat-perangkat lunaknya, termasuk Hukum. Disini “Kaum penyimpang” selalu melihat kemungkinanuntuk “berbuat” dengan leluasa.Menarik untuk disimak korelasinya dengan berbagai peristiwa hukum di Indonesia saat ini, kitamasih menyaksikan betapa ada saja, bagian dari hukum yang belum mengimbangi perkembangan masyarakat yang sejatinya memiliki perbedaan.
Para godfather Indonesia yang begitu leluasanya mempengaruhi hukum secara gampang mengeksploitasi inefisiensi politiksaat ini untuk mendapatkan keuntungan.
Secara nyata yang saat ini sedang terjadi, di satu sisimereka menampilkan suatu fakta ukuran yang benar menyangkut kontribusi mereka pada konteks pembangunan formal, namun disisi yang lain mereka menancapkan kuku-kukukekuasaan dari segala aspek dalam mempengaruhi kemurnian hukum serta kesucian politik demokrasi dengan tatanan-tatanan yang sengaja mereka benturkan dengan tirai agama. Siapayang jadi korban? Siapa yang dimanfaatkan? Di sisi inilah yang saat ini menjadi lampu sorot masyarakat luas yang saat ini terpecah belah akibat ulah mereka yang memanfaatkankelompok-kelompok radikal dan membenturkannya dengan masyarakat.
Entah mereka itu siapa, yang pasti para godfather saat ini sedang memainkan dadu perpecahan demi tujuanakhir mereka yaitu menguasai semua aspek yang dianggap “gendut” dengan jalur “kejahatan”.
Pada satu sisi hal seperti ini memang sulit dinafikan, tapi membiarkan hal ini begitu saja tentukurang bijak. Maka sepatutnya dalam kondisi yang demikian ini, tingkat kewarasan kita dalammenyikapi setiap kejadian yang akhir-akhir ini secara beruntun terjadi sepatutnya dilipatgandakan.
Karena jangan heran trick mereka untuk melancarkan kejahatan kerap kalidijalankan secara luwes dan unpredictable atau tak terduga.
Dan jangan tidak percaya, bahwa bukan mustahil kejahatan-kejahatan tersebut diawali dengancara propaganda yang dikemas lewat opini dan pemberitaan, sehingga sangatlah mudahmeyakinkan publik, hal ini tidak lain adalah pola terselubung dimana kebohongan yang diulang-ulang akhirnya juga akan menjadi “kebenaran” sehingga konflik horizontal yang di design olehtangan-tangan tersembunyi yang memanfaatkan kondisi sosial, politik serta hukum di negerikita saat ini dikhawatirkan akan meletup. tetap waspada. (***/risatsanger)