Oleh: Sofyan Jimmy Yosadi (Yang Chuan Xian) (Tokoh Masyarakat Sulut)
Wacana Minahasa Merdeka kembali bergaung dan menjadi viral di media sosial dan menjadi konsumsi yang diberitakan berbagai media massa. Bukan hanya Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian yang bereaksi bahkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyatakan sikap tegasnya melalui pernyataan yang dikutip media massa …
Wacana Minahasa Merdeka kembali dimunculkan saat momentum penolakan kedatangan Wakil Ketua DPR RI Bung Fahri Hamzah di Manado. Akumulasi sikap tersebut awalnya berkaitan dengan situasi politik pemilukada DKI Jakarta. Demo demi demo yang tentunya dijamin UU, reaksi atas aksi yang terus berbalas hingga kini dan membuat wacana ini kembali diangkat …
Minahasa Merdeka, NKRI harga mati, bela negara, bela agama, referendum masyarakat Minahasa adalah realitas yang dikumandangkan dan membuat masyarakat terbelah dalam menyatakan pendapatnya …
Jauh sebelumnya, 1957 terjadi peristiwa Permesta. Saat itu saya belum lahir, mendengar kisah orangtua yang ikut sebagai corps tentara pelajar Permesta. Banyak pemuda Tionghoa Manado yang ikut karena situasi saat itu. Saya belajar dari berbagai buku, memahami banyak hal, ikut menghadiri berbagai seminar tentang Permesta, banyak bertanya kepada para pelaku sejarah, terutama mempelajari Proklamasi Permesta 2 Maret 1957 yang ditandatangani Letkol. H. N. Ventje Sumual yang menyatakan Proklamasi Permesta tidak akan melepaskan diri dari Republik Indonesia …
Ketika mulai aktif di gerakan budaya Minahasa dalam komunitas “Mawale Movement” saya menemukan oase, menemukan komunitas yang sama dalam pemikiran dan gagasan soal Minahasa. Menjadi lebih memahami Minahasa dalam keberagamannya melalui diskusi-diskusi bersama teman-teman, mengajar si sekolah Mawale, ziarah kultura, menulis artikel, saling belajar, fotography, hingga kami membuat buku yang berjudul “Memerdekakan Tou Minahasa” (2013). Sudah lebih dari dasawarsa, belasan tahun kami bergulat dalam pemikiran tentang Minahasa hari ini, siang malam kami terus bergerak dalam mencari arah bagi gerakan budaya Minahasa dan memberikan pemahaman melalui wanua-wanua, roong, kampung di seluruh tanah Minahasa tanpa batas teritori kabupaten atau kota.
Buku “Memerdekakan Tou Minahasa” (2013) sudah dua kali dibedah melalui diskusi bersama para intelektual, pertama di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi (dulunya Fakultas Sastra) dan kedua di Tondano. Sebagai salah satu penulis yang berkontribusi dalam buku ini saya ikut dalam kegiatan bedah buku tersebut dan memberikan banyak pendapat.
Saya masih terus aktif hingga kini dalam gerakan budaya “Mawale Movement” bersama teman-teman bukan untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsa Minahasa namun makna lebih mendalam soal bagaimana memerdekan Tou Minahasa dari cara berpikir, kemerdekaan mendapatkan pendidikan dan keadilan, kesejahteraan, kemerdekaan hak atas tanah dan adat istiadat, kemerdekaan berbudaya, kemerdekaan hukum dan ekonomi dan sebagainya.
Mawale Movement adalah gerakan membangun kembali “Wale” (rumah) untuk memberi kesadaran bersama dan berdiri tegak bersama sebagai satu bangsa yang bermartabat, berkeadilan dan kesetaraan di Republik Indonesia ini.
Dalam tulisan saya di buku “Memerdekaan Tou Minahasa” (2013) yang berjudul “Advokasi terhadap persoalan Tou, Tana’ dan Penanda Budaya Minahasa” (Halaman 194-225) saya mengemukakan pendapat pribadi soal “Kemerdekaan Minahasa” ini melalui berbagai peristiwa diantaranya :
1. Ketika mengadvokasi dan membela anak-anak korban human trafficking (perdagangan orang) di Amurang Kab. Minahasa Selatan dan kota Bitung (2010-2011) melawan mafia yang menggurita dan melibatkan oknum aparat keamanan & pertahanan, oknum politisi, pengusaha, jurnalis dll yang “memakai” anak-anak ini melalui para “penjualnya” di saat jam-jam sekolah. Saya terus mendampingi mereka yang jadi korban bersama keluarganya, melawan intimidasi, mendampingi para korban di sidang-sidang pengadilan Negeri Amurang dan Pengadilan Negeri Bitung, berjuang hingga mendapatkan perlindungan LPSK di Jakarta, mencoba untuk melakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi dan berbagai upaya lain. perjuangan ini saya maknai untuk “Memerdekakan Tou Minahasa” para perempuan (wewene) yang masih muda belia yang merupakan manusia “Tou” (human) untuk mendapatkan keadilan.
2. Pengalaman ketika menjadi satu-satunya Advokat yang membela para Tonaas dan pelaku adat budaya Minahasa saat peristiwa penghancuran situs Pinawelaan & Kaimeya di Tomohon (2012). Para Tonaas dan pelaku adat budaya Minahasa di stigmakan sebagai aliran sesat oleh pemerintah, tokoh agama, aparat keamanan dan pertahanan saat itu bahkan membuat pamflet dan seruan ke berbagai tempat ibadah. Pengalaman yang luar biasa, melawan hegemoni kekuasaan dan berhasil dilakukan karena berjuang bersama dengan teman-teman lainnya, Mawale Movement & Komunitas Waraney Wuaya, para pemerhati, akademisi, teolog, sejarawan dan budayawan hingga jurnalis bahu membahu berjuang bersama. Selain “hearing” dengan legislatif DPRD Kota Tomohon juga bersiap melakukan gugatan Class action & Gugatan Citizen law suit di Pengadilan Negeri Tondano jika pemerintah dan atasan para oknum aparat keamanan dan pertahanan tidak melakukan upaya pemecatan atau mutasi serta menghentikan stigma aliran sesat kepada para Tonaas dan pelaku adat budaya Minahasa. Pengalaman ini saya tuangkan dalam tulisan tersebut dan memaknainya sebagai “Memerdekakan penanda budaya Minahasa” dari stigma sesat dan penghancuran situs budaya Minahasa atas nama agama dan kekuasaan.
3. Ketika saya diminta oleh beberapa Pendeta GMIM untuk membela rekan mereka sesama pendeta GMIM yang ditahan di Polda Sulut berkaitan dengan persoalan tambang dan tanah rakyat Minahasa (2012) secara probono (advokasi hukum tanpa dibayar), saya memulai pertarungan hingga satu tahun lebih dan mengadvokasi Pdt. Hedison Kesek yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka di Polda Sulut, Kejaksaan Tinggi hingga mendampinginya sebagai terdakwa melalui sidang-sidang di Pengadilan Negeri Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan). Perjuangan yang dilakukan sepenuh hati dan keikhlasan. Berakhir manis dan bahagia. Kini kami berdua dan keluarga pendeta bukan hanya sebagai sahabat bahkan seperti saudara dan keluarga. Perjuangan ini saya analogikan dalam tulisan tersebut sebagai “Memerdekakan Tanah Minahasa” dari ketidakadilan, melawan hegemoni perusahaan tambang raksasa, oknum pemerintah dan oknum aparat keamanan yang menjadi “body guard” perusahaan tambang tersebut.
Pengalaman demi pengalaman ini, semuanya saya sadari karena adanya ketidakadilan.
Semua menuntut adanya keadilan dan semua berawal dari ketidakadilan ..
Keadilan selalu bermata dua, adil bagi pihak lain belum tentu adil bagi pihak sebelahnya…
Saya dan teman-teman bersyukur bahwa apa yang kami tuangkan dalam buku “Memerdekakan Tou Minahasa” yang merupakan kumpulan tulisan adalah makna hakiki dan realitas saat ini. Banyak orang yang kemudian mengutip pendapat kami soal “Minahasa Merdeka” ini bahwa bukan soal memisahkan diri dari Republik ini tapi soal bagaimana membangkitkan kesadaran Tou Minahasa untuk merdeka berpikir dan merdeka untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.
Saya pribadi tetap berketetapan hingga hari ini, bahwa persoalan Memerdekakan Minahasa bukan sebagai usaha untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagaimana makna proklamasi Permesta 1957 untuk tetap bersama Republik Indonesia juga bukan untuk mendirikan negara Minahasa tapi sesungguhnya adalah berjuang bagi keadilan Tou (orang), Tanah, adat dan budaya Minahasa dengan bebas berpikir, bebas berkarya, bebas mengemukakan pendapat dan mendapatkan keadilan …
sekali lagi soal KEADILAN !!!
I jajat u santi …..
Oleh: Sofyan Jimmy Yosadi (Yang Chuan Xian) (Tokoh Masyarakat Sulut)
Wacana Minahasa Merdeka kembali bergaung dan menjadi viral di media sosial dan menjadi konsumsi yang diberitakan berbagai media massa. Bukan hanya Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian yang bereaksi bahkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyatakan sikap tegasnya melalui pernyataan yang dikutip media massa …
Wacana Minahasa Merdeka kembali dimunculkan saat momentum penolakan kedatangan Wakil Ketua DPR RI Bung Fahri Hamzah di Manado. Akumulasi sikap tersebut awalnya berkaitan dengan situasi politik pemilukada DKI Jakarta. Demo demi demo yang tentunya dijamin UU, reaksi atas aksi yang terus berbalas hingga kini dan membuat wacana ini kembali diangkat …
Minahasa Merdeka, NKRI harga mati, bela negara, bela agama, referendum masyarakat Minahasa adalah realitas yang dikumandangkan dan membuat masyarakat terbelah dalam menyatakan pendapatnya …
Jauh sebelumnya, 1957 terjadi peristiwa Permesta. Saat itu saya belum lahir, mendengar kisah orangtua yang ikut sebagai corps tentara pelajar Permesta. Banyak pemuda Tionghoa Manado yang ikut karena situasi saat itu. Saya belajar dari berbagai buku, memahami banyak hal, ikut menghadiri berbagai seminar tentang Permesta, banyak bertanya kepada para pelaku sejarah, terutama mempelajari Proklamasi Permesta 2 Maret 1957 yang ditandatangani Letkol. H. N. Ventje Sumual yang menyatakan Proklamasi Permesta tidak akan melepaskan diri dari Republik Indonesia …
Ketika mulai aktif di gerakan budaya Minahasa dalam komunitas “Mawale Movement” saya menemukan oase, menemukan komunitas yang sama dalam pemikiran dan gagasan soal Minahasa. Menjadi lebih memahami Minahasa dalam keberagamannya melalui diskusi-diskusi bersama teman-teman, mengajar si sekolah Mawale, ziarah kultura, menulis artikel, saling belajar, fotography, hingga kami membuat buku yang berjudul “Memerdekakan Tou Minahasa” (2013). Sudah lebih dari dasawarsa, belasan tahun kami bergulat dalam pemikiran tentang Minahasa hari ini, siang malam kami terus bergerak dalam mencari arah bagi gerakan budaya Minahasa dan memberikan pemahaman melalui wanua-wanua, roong, kampung di seluruh tanah Minahasa tanpa batas teritori kabupaten atau kota.
Buku “Memerdekakan Tou Minahasa” (2013) sudah dua kali dibedah melalui diskusi bersama para intelektual, pertama di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi (dulunya Fakultas Sastra) dan kedua di Tondano. Sebagai salah satu penulis yang berkontribusi dalam buku ini saya ikut dalam kegiatan bedah buku tersebut dan memberikan banyak pendapat.
Saya masih terus aktif hingga kini dalam gerakan budaya “Mawale Movement” bersama teman-teman bukan untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsa Minahasa namun makna lebih mendalam soal bagaimana memerdekan Tou Minahasa dari cara berpikir, kemerdekaan mendapatkan pendidikan dan keadilan, kesejahteraan, kemerdekaan hak atas tanah dan adat istiadat, kemerdekaan berbudaya, kemerdekaan hukum dan ekonomi dan sebagainya.
Mawale Movement adalah gerakan membangun kembali “Wale” (rumah) untuk memberi kesadaran bersama dan berdiri tegak bersama sebagai satu bangsa yang bermartabat, berkeadilan dan kesetaraan di Republik Indonesia ini.
Dalam tulisan saya di buku “Memerdekaan Tou Minahasa” (2013) yang berjudul “Advokasi terhadap persoalan Tou, Tana’ dan Penanda Budaya Minahasa” (Halaman 194-225) saya mengemukakan pendapat pribadi soal “Kemerdekaan Minahasa” ini melalui berbagai peristiwa diantaranya :
1. Ketika mengadvokasi dan membela anak-anak korban human trafficking (perdagangan orang) di Amurang Kab. Minahasa Selatan dan kota Bitung (2010-2011) melawan mafia yang menggurita dan melibatkan oknum aparat keamanan & pertahanan, oknum politisi, pengusaha, jurnalis dll yang “memakai” anak-anak ini melalui para “penjualnya” di saat jam-jam sekolah. Saya terus mendampingi mereka yang jadi korban bersama keluarganya, melawan intimidasi, mendampingi para korban di sidang-sidang pengadilan Negeri Amurang dan Pengadilan Negeri Bitung, berjuang hingga mendapatkan perlindungan LPSK di Jakarta, mencoba untuk melakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi dan berbagai upaya lain. perjuangan ini saya maknai untuk “Memerdekakan Tou Minahasa” para perempuan (wewene) yang masih muda belia yang merupakan manusia “Tou” (human) untuk mendapatkan keadilan.
2. Pengalaman ketika menjadi satu-satunya Advokat yang membela para Tonaas dan pelaku adat budaya Minahasa saat peristiwa penghancuran situs Pinawelaan & Kaimeya di Tomohon (2012). Para Tonaas dan pelaku adat budaya Minahasa di stigmakan sebagai aliran sesat oleh pemerintah, tokoh agama, aparat keamanan dan pertahanan saat itu bahkan membuat pamflet dan seruan ke berbagai tempat ibadah. Pengalaman yang luar biasa, melawan hegemoni kekuasaan dan berhasil dilakukan karena berjuang bersama dengan teman-teman lainnya, Mawale Movement & Komunitas Waraney Wuaya, para pemerhati, akademisi, teolog, sejarawan dan budayawan hingga jurnalis bahu membahu berjuang bersama. Selain “hearing” dengan legislatif DPRD Kota Tomohon juga bersiap melakukan gugatan Class action & Gugatan Citizen law suit di Pengadilan Negeri Tondano jika pemerintah dan atasan para oknum aparat keamanan dan pertahanan tidak melakukan upaya pemecatan atau mutasi serta menghentikan stigma aliran sesat kepada para Tonaas dan pelaku adat budaya Minahasa. Pengalaman ini saya tuangkan dalam tulisan tersebut dan memaknainya sebagai “Memerdekakan penanda budaya Minahasa” dari stigma sesat dan penghancuran situs budaya Minahasa atas nama agama dan kekuasaan.
3. Ketika saya diminta oleh beberapa Pendeta GMIM untuk membela rekan mereka sesama pendeta GMIM yang ditahan di Polda Sulut berkaitan dengan persoalan tambang dan tanah rakyat Minahasa (2012) secara probono (advokasi hukum tanpa dibayar), saya memulai pertarungan hingga satu tahun lebih dan mengadvokasi Pdt. Hedison Kesek yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka di Polda Sulut, Kejaksaan Tinggi hingga mendampinginya sebagai terdakwa melalui sidang-sidang di Pengadilan Negeri Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan). Perjuangan yang dilakukan sepenuh hati dan keikhlasan. Berakhir manis dan bahagia. Kini kami berdua dan keluarga pendeta bukan hanya sebagai sahabat bahkan seperti saudara dan keluarga. Perjuangan ini saya analogikan dalam tulisan tersebut sebagai “Memerdekakan Tanah Minahasa” dari ketidakadilan, melawan hegemoni perusahaan tambang raksasa, oknum pemerintah dan oknum aparat keamanan yang menjadi “body guard” perusahaan tambang tersebut.
Pengalaman demi pengalaman ini, semuanya saya sadari karena adanya ketidakadilan.
Semua menuntut adanya keadilan dan semua berawal dari ketidakadilan ..
Keadilan selalu bermata dua, adil bagi pihak lain belum tentu adil bagi pihak sebelahnya…
Saya dan teman-teman bersyukur bahwa apa yang kami tuangkan dalam buku “Memerdekakan Tou Minahasa” yang merupakan kumpulan tulisan adalah makna hakiki dan realitas saat ini. Banyak orang yang kemudian mengutip pendapat kami soal “Minahasa Merdeka” ini bahwa bukan soal memisahkan diri dari Republik ini tapi soal bagaimana membangkitkan kesadaran Tou Minahasa untuk merdeka berpikir dan merdeka untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.
Saya pribadi tetap berketetapan hingga hari ini, bahwa persoalan Memerdekakan Minahasa bukan sebagai usaha untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagaimana makna proklamasi Permesta 1957 untuk tetap bersama Republik Indonesia juga bukan untuk mendirikan negara Minahasa tapi sesungguhnya adalah berjuang bagi keadilan Tou (orang), Tanah, adat dan budaya Minahasa dengan bebas berpikir, bebas berkarya, bebas mengemukakan pendapat dan mendapatkan keadilan …
sekali lagi soal KEADILAN !!!
I jajat u santi …..