Oleh Harsen Roy Tampomuri (Alumni Unsrat Mahasiswa Pascasarjana Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
Kehadiran partai politik (parpol) menjadi pertanda penting bagi transformasi sistem politik klasik ke metode berpolitik modern. Parpol dipercaya oleh negara penganut demokrasi perwakilan sebagai pilar demokrasi. Selama demokrasi perwakilan masih dianggap sistem yang paling masuk akal maka selama itu juga parpol akan tetap dibutuhkan.
Meskipun dalam perkembangannya saat ini parpol sering dianggap disfungsi dan malfungsi. Di sisi lain parpol masih terus diharapkan untuk menjadi corong aspirasi rakyat agar demokrasi politik dan kesejahteraan rakyat dapat terus terpenuhi.
Demikian juga secara fungsi diharapkan parpol dapat menata diri dengan baik di arena elektoral, pemerintahan, dan organisasi partai.
Satu lagi vitamin untuk partai-partai baru di Indonesia, sebuah preseden dari dinamika pemilihan umum presiden Perancis. Pada tanggal 6 April 2016 Emmanuel Macron mendirikan En Marche! dan keluar dari partai Sosialis. En Marche! menjadi kendaraan politik Macron dalam pemilihan umum presiden (pilpres) Perancis 2017.
Partai politik itu juga yang membawanya pada kursi Presiden Perancis melalui pilpres yang diselenggarakan pada 23 April dan 27 Mei 2017. Macron mengalahkan dua partai arus utama di Perancis yakni Partai Sosialis dan Partai Republik. Saat itu Partai En Marche! baru berusia setahun sejak didirikan.
Partai seumur jagung dan usia kandidat yang sangat muda telah memenangkan kursi presiden dengan total 65,68 persen suara. Louis Napoleon Bonaparte bahkan tercatat setahun lebih tua dari Macron saat menjabat Presiden Perancis pada tahun 1848. Macron kemudian menjadi presiden termuda dalam sejarah perpolitikan di Perancis.
Semakin akrab di telinga kita beberapa partai baru mulai dari Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Partai Islam Damai Aman (Idaman) dan Partai Indonesia Kerja (PIKA). Mungkinkah hal yang sama terjadi di Indonesia? Who knows? (siapa yang tau?) Semua bisa saja terjadi. Kalau benar terjadi di Indonesia pasti bakalan seru tapi ruwet juga.
Kekuatan Macron di Pilpres Perancis
Kemenangan Macron sungguh menyita perhatian publik, tidak hanya Uni Eropa (European Union) tetapi juga perhatian dunia. Hanya saja perlu di perhatikan beberapa latar belakang menangnya Macron di pilpres Perancis, diantaranya: pertama, Macron bukanlah wajah yang sama sekali baru dalam perpolitikan di Perancis.
Jabatan menteri ekonomi pun pernah di jalankannya dimasa Presiden Francois Hollande yang juga politisi partai Sosialis. Dengan kata lain beliau merupakan bagian dari kelompok established (mapan). Dalam sisi organisasi baik birokrasi dan atau partai politik pun beliau sudah sangat diperhitungkan. Bahkan bisa saja beliau diusung dari Partai Sosialis ketika mengikuti Pilpres Perancis 2017.
Kedua, Macron akan menjadi presiden termuda pertama dalam sejarah perpolitikan di Perancis yakni pada usia 39 tahun. Hal tersebut sejalan dengan hasrat mayoritas rakyat untuk membersihkan ruang politik dari tokoh-tokoh lama yang sudah tua dan tradisional. Ketiga, Macron mengusung visi Perancis yang terbuka, multilateral, dan sangat pro-Uni Eropa (European Union).
Sehingga pemilu kali ini dipantau secara ketat di seluruh Eropa karena dianggap dapat mempengaruhi masa depan Perancis dan Uni Eropa. Terlihat Macron pro-Uni Eropa dan Marine Le Pen kandidat dari Partai Front Nasional ingin Perancis keluar dari Uni Eropa.
Keempat, Merangkul kaum imigran di Perancis. Sangat kontras dengan Le Pen yang jadi rival (lawan) politiknya diputaran kedua Pilpres. Le Pen hadir di publik sebagai figur yang anti-imigran. kampanyenya tentang imigran mirip dengan kampanye Presiden Donald Trumph saat pilpres Amerika Serikat. Kelima, Keluar dari pakem politik tradisional untuk hilangkan sekat kubu kiri dan kanan di Perancis.
Beliau berkomitmen menyembuhkan perpecahan di Perancis, perpecahan yang menghasilkan kubu-kubu sayap kanan dan kiri. Dengan harapan yang sejalan dengan hal itu beliau menginginkan agar tidak ada perpecahan dan yang ada yakni dekatnya institusi Eropa dengan warga negaranya.
Keenam, Ikut diuntungkan oleh skandal yang menimpa Francois Fillon. Fillon menjadi capres konrtoversial yang sempat populer dalam pilpres di Perancis. Macron juga diuntungkan dengan serangkaian skandal yang menghantam Fillon saat itu. Ketujuh, Dinamika debat yang dilihat publik.
Perdebatan yang begitu alot memunculkan berbagai pandangan konstituen terhadap kandidat yang mengikuti pilpres. Salah satu yang menarik selain konten argumentasi berbagai isu debat yakni akumulasi penilaian Macron atas Le Pen. Macron menyampaikan Le Pen sebagai penipu karena hanya penuh dengan retorika tanpa substansi. Walau di sisi lain Le Pen pun memojokkannya dengan tudingan Macron merasa nyaman dengan kondisi keamanan yang sebenarnya terancam.
Kedelapan. Kedekatan Macron dengan grassroots atau akar rumput. Macron selalu memposisikan diri sebagai tokoh politik yang dekat dengan grassroots. Salah satu hal yang jelas dari pendekatannya ini yakni dimaksimalkannya kerja relawan di lapangan untuk suksesi pilpres.
Sebuah strategi yang juga pernah dilakukan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam Pilpres Amerika Serikat di tahun 2008. Citranya Macron sebagai pemimpin muda yang dianggap dinamis cukup efektif menarik ribuan relawan untuk bergabung dengan ‘En Marche!’. Sebuah dorongan gerakan akar rumput yang mampu mendompleng popularitas dan elektabilitasnya dalam Pilpres Perancis.
Meskipun demikian, ada kekhawatiran yang diprediksi akan ikut mempersulit pemerintahan di Perancis pasca pilpres. Kebutuhan kubu En Marche! untuk berkoalisi dengan partai arus utama. Hal ini juga akan membawa Macron pada kesulitan ketika membentuk pemerintahan.
Kemungkinan lainnya yakni tidak cukup energi untuk En Marche! mempersiapkan kader menempati kursi parlemen. Tak terbayangkan keruwetan yang mungkin terjadi. Tapi itulah dinamika politik yang sangat fluktuatif dan terkadang tak terprediksi. Namun bisa juga kesulitan itu tertangani dengan baik oleh En Marche! sehingga memberikan harapan pada eksistensi partai baru di Perancis bahkan di negara-negara lain termasuk Indonesia. (bersambung)
Oleh Harsen Roy Tampomuri (Alumni Unsrat Mahasiswa Pascasarjana Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
Kehadiran partai politik (parpol) menjadi pertanda penting bagi transformasi sistem politik klasik ke metode berpolitik modern. Parpol dipercaya oleh negara penganut demokrasi perwakilan sebagai pilar demokrasi. Selama demokrasi perwakilan masih dianggap sistem yang paling masuk akal maka selama itu juga parpol akan tetap dibutuhkan.
Meskipun dalam perkembangannya saat ini parpol sering dianggap disfungsi dan malfungsi. Di sisi lain parpol masih terus diharapkan untuk menjadi corong aspirasi rakyat agar demokrasi politik dan kesejahteraan rakyat dapat terus terpenuhi.
Demikian juga secara fungsi diharapkan parpol dapat menata diri dengan baik di arena elektoral, pemerintahan, dan organisasi partai.
Satu lagi vitamin untuk partai-partai baru di Indonesia, sebuah preseden dari dinamika pemilihan umum presiden Perancis. Pada tanggal 6 April 2016 Emmanuel Macron mendirikan En Marche! dan keluar dari partai Sosialis. En Marche! menjadi kendaraan politik Macron dalam pemilihan umum presiden (pilpres) Perancis 2017.
Partai politik itu juga yang membawanya pada kursi Presiden Perancis melalui pilpres yang diselenggarakan pada 23 April dan 27 Mei 2017. Macron mengalahkan dua partai arus utama di Perancis yakni Partai Sosialis dan Partai Republik. Saat itu Partai En Marche! baru berusia setahun sejak didirikan.
Partai seumur jagung dan usia kandidat yang sangat muda telah memenangkan kursi presiden dengan total 65,68 persen suara. Louis Napoleon Bonaparte bahkan tercatat setahun lebih tua dari Macron saat menjabat Presiden Perancis pada tahun 1848. Macron kemudian menjadi presiden termuda dalam sejarah perpolitikan di Perancis.
Semakin akrab di telinga kita beberapa partai baru mulai dari Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Partai Islam Damai Aman (Idaman) dan Partai Indonesia Kerja (PIKA). Mungkinkah hal yang sama terjadi di Indonesia? Who knows? (siapa yang tau?) Semua bisa saja terjadi. Kalau benar terjadi di Indonesia pasti bakalan seru tapi ruwet juga.
Kekuatan Macron di Pilpres Perancis
Kemenangan Macron sungguh menyita perhatian publik, tidak hanya Uni Eropa (European Union) tetapi juga perhatian dunia. Hanya saja perlu di perhatikan beberapa latar belakang menangnya Macron di pilpres Perancis, diantaranya: pertama, Macron bukanlah wajah yang sama sekali baru dalam perpolitikan di Perancis.
Jabatan menteri ekonomi pun pernah di jalankannya dimasa Presiden Francois Hollande yang juga politisi partai Sosialis. Dengan kata lain beliau merupakan bagian dari kelompok established (mapan). Dalam sisi organisasi baik birokrasi dan atau partai politik pun beliau sudah sangat diperhitungkan. Bahkan bisa saja beliau diusung dari Partai Sosialis ketika mengikuti Pilpres Perancis 2017.
Kedua, Macron akan menjadi presiden termuda pertama dalam sejarah perpolitikan di Perancis yakni pada usia 39 tahun. Hal tersebut sejalan dengan hasrat mayoritas rakyat untuk membersihkan ruang politik dari tokoh-tokoh lama yang sudah tua dan tradisional. Ketiga, Macron mengusung visi Perancis yang terbuka, multilateral, dan sangat pro-Uni Eropa (European Union).
Sehingga pemilu kali ini dipantau secara ketat di seluruh Eropa karena dianggap dapat mempengaruhi masa depan Perancis dan Uni Eropa. Terlihat Macron pro-Uni Eropa dan Marine Le Pen kandidat dari Partai Front Nasional ingin Perancis keluar dari Uni Eropa.
Keempat, Merangkul kaum imigran di Perancis. Sangat kontras dengan Le Pen yang jadi rival (lawan) politiknya diputaran kedua Pilpres. Le Pen hadir di publik sebagai figur yang anti-imigran. kampanyenya tentang imigran mirip dengan kampanye Presiden Donald Trumph saat pilpres Amerika Serikat. Kelima, Keluar dari pakem politik tradisional untuk hilangkan sekat kubu kiri dan kanan di Perancis.
Beliau berkomitmen menyembuhkan perpecahan di Perancis, perpecahan yang menghasilkan kubu-kubu sayap kanan dan kiri. Dengan harapan yang sejalan dengan hal itu beliau menginginkan agar tidak ada perpecahan dan yang ada yakni dekatnya institusi Eropa dengan warga negaranya.
Keenam, Ikut diuntungkan oleh skandal yang menimpa Francois Fillon. Fillon menjadi capres konrtoversial yang sempat populer dalam pilpres di Perancis. Macron juga diuntungkan dengan serangkaian skandal yang menghantam Fillon saat itu. Ketujuh, Dinamika debat yang dilihat publik.
Perdebatan yang begitu alot memunculkan berbagai pandangan konstituen terhadap kandidat yang mengikuti pilpres. Salah satu yang menarik selain konten argumentasi berbagai isu debat yakni akumulasi penilaian Macron atas Le Pen. Macron menyampaikan Le Pen sebagai penipu karena hanya penuh dengan retorika tanpa substansi. Walau di sisi lain Le Pen pun memojokkannya dengan tudingan Macron merasa nyaman dengan kondisi keamanan yang sebenarnya terancam.
Kedelapan. Kedekatan Macron dengan grassroots atau akar rumput. Macron selalu memposisikan diri sebagai tokoh politik yang dekat dengan grassroots. Salah satu hal yang jelas dari pendekatannya ini yakni dimaksimalkannya kerja relawan di lapangan untuk suksesi pilpres.
Sebuah strategi yang juga pernah dilakukan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam Pilpres Amerika Serikat di tahun 2008. Citranya Macron sebagai pemimpin muda yang dianggap dinamis cukup efektif menarik ribuan relawan untuk bergabung dengan ‘En Marche!’. Sebuah dorongan gerakan akar rumput yang mampu mendompleng popularitas dan elektabilitasnya dalam Pilpres Perancis.
Meskipun demikian, ada kekhawatiran yang diprediksi akan ikut mempersulit pemerintahan di Perancis pasca pilpres. Kebutuhan kubu En Marche! untuk berkoalisi dengan partai arus utama. Hal ini juga akan membawa Macron pada kesulitan ketika membentuk pemerintahan.
Kemungkinan lainnya yakni tidak cukup energi untuk En Marche! mempersiapkan kader menempati kursi parlemen. Tak terbayangkan keruwetan yang mungkin terjadi. Tapi itulah dinamika politik yang sangat fluktuatif dan terkadang tak terprediksi. Namun bisa juga kesulitan itu tertangani dengan baik oleh En Marche! sehingga memberikan harapan pada eksistensi partai baru di Perancis bahkan di negara-negara lain termasuk Indonesia. (bersambung)