(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)
(Sambungan)
Benar adanya tidak mudah menguak pikiran dan kehendak setiap orang, apalagi usaha meredam semua pikiran sesat. Tetapi, alangkah bijak kalau kita tidak pernah lupa ingatan bahwa dari sekian banyak kisah peristiwa perusakan dan pemusnahan simbol-simbol agama tidak hanya dilakukan oleh warga setempat, tetapi dilakukan oleh warga dari luar.
Pola mengerahkan massa dari luar desa atau dari kota lain dengan maksud menyerang orang lain atau kelompok lain yang berbeda pendapat dan yang berbeda keyakinan sudah menjadi model umum di Indonesia.
Contoh: Para pendemo anarkis yang menentang Ahok di Jakarta beberapa waktu lalu bukan warga Jakarta. Sudah lumrah bahwa orang-orang yang punya uang, punya kuasa mau mengambil keuntungan besar dengan mengorbankan orang-orang kecil, masyarakat yang kurang pengetahuan (pendidikan), kurang beruntung ekonomi, serta kurang mendalam ajaran agama.
Maka tidak heran ketika usai ‘kerusuhan atau demo dengan kekerasan’ para pelaku bingung sendiri karena mereka baru sadar telah dijebak.
Menyaksikan banyak orang “beriman yang bodoh,” selalu menjadi tumbal dari permainan orang-orang yang berpunya, semestinya mengetuk pintu hati dari para tokoh agama di negeri ini untuk segera menemukan cara-cara cerdas supaya bisa mengayomi pola pikir dari semua lapisan msyarakat bangsa.
Benar bahwa tokoh-tokoh agama bukan satu-satunya pihak yang paling bertangungjawab atas keresahan kaum beriman, tetapi paling tidak tersadar bahwa masih ada pekerjaan besar siap menanti dengan rupa-rupa tantangan.
Minimal tersadar dari lamunan agar lebih serius lagi, untuk lebih berkonteplatif akan kualitas suara ke-Nabian saat ini.
Karena bagaimnapun rasanya sulit dipercaya orang-orang dengan kualitas pengetahuan agama yang baik dengan sangat bangga melakukan perusakan simbol-simbol agama, simbol keyakian orang lain.
Padahal semua agama mengajarkan sikap saling menghormati merupakan implementasi sikap menghargai terhadap Sang Khalik Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, bahwa manusia adalah gambaran Tuhan (imago Dei).
Artinya, wujud sikap menghargai terhadap Tuhan harus terbangun hidup harmonis dengan sesama manusia serta seluruh alam ciptaan Tuhan.
Semua orang beriman pasti lebih mengedepankan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara, yakni; “Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, Kemandirian dan tanggungjawab, Kejujuran/amanah, Hormat dan santun, Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama,
Percaya diri dan pekerja keras, Kepemimpinan dan keadilan, Baik dan rendah hati, dan, Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.”
Sekalipun realitas menunjukkan bahwa gema suara ke-Nabian hingga saat ini sudah mulai tergerus oleh tuntutan dan kebutuhan duniawi; jabatan, harta, pangkat dan kedudukan, namun, semua belum terlambat.
Mari semua warga bangsa menyimak pikiran Daniel Goleman dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja.
Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. (***)