Oleh: Lexi Kalesaran, Pemerhati Kemasyarakatan.
Kegiatan Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala dengan target pemberantasan gerakan terorisme Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso terus menuai keberhasilan.
Setelah beberapa anggota dilumpuhkan, Selasa (18/7) lalu pimpinannya yakni Santoso dan seorang anak buahnya tewas tertembak oleh anggota Satgas. Beberapa hari setelah itu, istri kedua Santoso, Jumiatun ditangkap anggota tim Satgas. Dengan demikian tertinggal belasan teroris anggota Santoso yang akan terus diburu.
Pelbagai pujian / apresiasi dilontarkan. Masyarakat, anggota DPR dan pemerintah menyambut gembira atas keberhasilan kerja Satgas Operasi Tinombala yang berhasil melumpuhkan Santoso dan kawan – kawan. Sejumlah janji mengemuka.
Suatu hal yang lumrah bila keberhasilan berbuah pujian, apresiasi dan reward (penghargaan). Pasti tidak ada yang berkeberatan bila satgas ini diberi reward berupa kenaikan pangkat setingkat dan lain sebagainya apa pun bentuknya.
Kendati demikian, euphoria keberhasilan ini hendaknya tidak membuat Satgas dan kita semua terlena. Masih ada pekerjaan lain dan besar yang menunggu. Masih ada belasan anggota Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso yang belum tertangkap.
Ada upaya persuasif yang dilakukan Kapolda Sulawesi Tengah dengan membuat baliho imbauan agar anak buah Santoso itu turun gunung dan menyerah. Tentunya, dengan ada janji kemudahan proses hukum. Baliho itu dibuat beberapa buah dan dipajang di sejumlah tempat, yang diharapkan bisa dilihat anak buah Santoso yang masih berkeliaran.
Ada pendapat bahwa dengan tewasnya Santoso maka akan melemahkan moral anak buahnya. Dengan demikian akan memudahkan pelumpuhan gerakan ini. Entah dengan penyerahan diri anak buah Santoso atau gerakan mereka jadi terbatas sehingga anggota satgas mudah melumpuhkan mereka.
Ada pendapat lain, tewasnya Santoso tidak berarti akan melemahkan moral anak buah Santoso. Bahkan, mungkin akan semakin memacu semangat mereka untuk terus melakukan gerakan mereka. Tentunya dengan melakukan strategi baru, yang mungkin tidak akan disangka tim Satgas.
Pendapat ini didukung dengan pengalaman bahwa mereka sudah dilatih untuk pantang menyerah dalam keadaan apapun. Mereka telah dilatih untuk senantiasa siap kendati harus mati demi tugas yang diyakini ‘mulia.’ Mati sahid !
Kita semua, tentunya, berharap pendapat yang pertama yang akan terjadi. Kita tentunya berharap pula kegiatan Satgas Operasi Tinombala ini bisa selesai secepatnya dengan lumpuh / menyerahnya semua anggota tim Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso ini. Dengan demikian, seluruh anggota Satgas bisa kembali kesatuannya masing – masing dan bisa berkumpul dengan keluarga setelah bertugas cukup lama di Poso.
Lebih dari itu, kita semua tentu berharap agar gerakan radikal / terorisme ini tidak sampai melebar ke daerah – daerah lain termasuk di Sulawesi Utara, baik bagian dari anak buah Santoso yang mungkin saja lari sampai ke daerah ini maupun gerakan radikal / terorisme baru. Sebab, gerakan radikal / terorisme bukan tidak mungkin akan terus berkembang. Orangnya bisa berganti tetapi gerakannya akan terus bertumbuh / berkembang.
Tindakan antisipatif dari Polda Sulawesi Utara pimpinan Brigjen Pol. Drs. Wilmar Marpaung, SH yang memperketat wilayah – wilayah perbatasan patut diapreasi. Sebab, bukan tidak mungkin anak buah Santoso itu dan mungkin gerakan – gerakan radikal / terorisme baru akan masuk ke daerah ini dengan mudahnya bila tidak diperketatnya wilayah – wilayah perbatasan.
Imbauan dari pihak kepolisian (seperti disampaikan Kabid Humas Polda Sulut AKBP Wilson Damanik, SH lewat media massa) yang berharap bila masyarakat mengetahui adanya pengunjung atau pendatang yang tidak jelas untuk segera melaporkan kepada petugas hendaknya menjadi perhatian.