(Sambungan)
oleh: Rayla Prajnariswari Belaudina Kusrorong (Wakil Ketua PSI Sulut)
Perlunya “extraordinary measure” sikap ASEAN
Berbagai bentuk konflik yang terus terjadi di LCS dan terus-menerus mengalami tumpah tindih tersebut dapat dikategorikan sebagai urgensi stabilitas perdamaian dan keamanan kawasan. Asean sebagai pihak ketiga paling tidak harus mampu menekan ketegangan-ketegangan yang dapat mengganggu stabilitas kawasan.
Di pertemuan ASEAN-Cina Pada 14-15 juni 2016 oleh masing-masing menteri luar negeri negara-negara yang mengadakan pertemuan spesial di Kunming,Cina. Pertemuan spesial tersebut membahas mengenai kerjasama kedua pihak termasuk konflik kawasan yang terjadi di LCS.
ASEAN banyak diharapkan dapat mengambil tindakan menangani konflik para “Claimant State” di konflik kawasan LCS untuk menjaga stabilitas keamanan. Klaim tumpang tindih oleh para “Claimant State” menjadi salah satu alasan diadakannya pertemuan spesial ini.
Hasil pertemuan itupun bahwa sepuluh negara asia tenggara meminta semua pihak tidak melakukan kegiatan militerisasi yang dapat memicu ketegangan di LCS. ASEAN dan Cina juga sepakat untuk mendorong adanya deklrasi tentang prilaku atas pihak di LCS atau disebut DOC (Declaration On Conduct) dan lebih mengedepankan kerjasama maritim di LCS sekaligus menuntasan Code of Conduct di LCS.
Namun, jika pertemuan ASEAN-Cina dalam menangani permasalahan perbatasan di LCS kedepan belum mampu menyelesaikan dan mencegah potensi konflik kedepan yang bersangkutan stabilitas perdamaian dan keamanan internasional, dikhawatirkan kualitas pertemuan ASEAN gagal dalam mitigasi konflik dan mengemban menjaga stabilitas kawasan, kemampuan dan kapasitas manajemen dan resolusi konflik ASEAN akan semakin dipersepsikan buruk dalam dinamika global.
Dalam artian, kemampuan dan kapasitas ASEAN akan banyak menggambaran krisis managemen institusi. Maka dari itu, ASEAN harus memiliki strategi alternatif tindakan luar biasa pilihannya adalah penguatan mekanisme lama berdasarkan kesepakatan UNCLOS 1982 atau mencapai ekuilibrium kekuatan yang baru dengan menginisiai komunitas keamanan maritim.
Asumsinya adalah Apabila ekuilibrium dalam suatu kawasan terganggu oleh pihak luar maupun oleh konflik pada salah satu dari unsur-unsur penyusun sistem stabilitas dan keamanan, maka tindakan luar biasa diperlukan dalam menyelesaikan konflik LCS.
Dalam hal ini ASEAN harus memiliki power politik yang dapat menekan penyelesaian konflik tersebut karena bagaimanapun ASEAN adalah organisasi regional terkemuka dikawasan.
Meskipun dalam kategori lambat dalam menangani konflik di LCS, ASEAN belum sepenuhnya gagal hanya saja masih dalam tingkat kesulitan yang mana ASEAN harus memiliki tindakan alternatif kedepan bukan pada fokus terhadap kegagalan penyelesaian konflik saat ini. (***)
(Sambungan)
oleh: Rayla Prajnariswari Belaudina Kusrorong (Wakil Ketua PSI Sulut)
Perlunya “extraordinary measure” sikap ASEAN
Berbagai bentuk konflik yang terus terjadi di LCS dan terus-menerus mengalami tumpah tindih tersebut dapat dikategorikan sebagai urgensi stabilitas perdamaian dan keamanan kawasan. Asean sebagai pihak ketiga paling tidak harus mampu menekan ketegangan-ketegangan yang dapat mengganggu stabilitas kawasan.
Di pertemuan ASEAN-Cina Pada 14-15 juni 2016 oleh masing-masing menteri luar negeri negara-negara yang mengadakan pertemuan spesial di Kunming,Cina. Pertemuan spesial tersebut membahas mengenai kerjasama kedua pihak termasuk konflik kawasan yang terjadi di LCS.
ASEAN banyak diharapkan dapat mengambil tindakan menangani konflik para “Claimant State” di konflik kawasan LCS untuk menjaga stabilitas keamanan. Klaim tumpang tindih oleh para “Claimant State” menjadi salah satu alasan diadakannya pertemuan spesial ini.
Hasil pertemuan itupun bahwa sepuluh negara asia tenggara meminta semua pihak tidak melakukan kegiatan militerisasi yang dapat memicu ketegangan di LCS. ASEAN dan Cina juga sepakat untuk mendorong adanya deklrasi tentang prilaku atas pihak di LCS atau disebut DOC (Declaration On Conduct) dan lebih mengedepankan kerjasama maritim di LCS sekaligus menuntasan Code of Conduct di LCS.
Namun, jika pertemuan ASEAN-Cina dalam menangani permasalahan perbatasan di LCS kedepan belum mampu menyelesaikan dan mencegah potensi konflik kedepan yang bersangkutan stabilitas perdamaian dan keamanan internasional, dikhawatirkan kualitas pertemuan ASEAN gagal dalam mitigasi konflik dan mengemban menjaga stabilitas kawasan, kemampuan dan kapasitas manajemen dan resolusi konflik ASEAN akan semakin dipersepsikan buruk dalam dinamika global.
Dalam artian, kemampuan dan kapasitas ASEAN akan banyak menggambaran krisis managemen institusi. Maka dari itu, ASEAN harus memiliki strategi alternatif tindakan luar biasa pilihannya adalah penguatan mekanisme lama berdasarkan kesepakatan UNCLOS 1982 atau mencapai ekuilibrium kekuatan yang baru dengan menginisiai komunitas keamanan maritim.
Asumsinya adalah Apabila ekuilibrium dalam suatu kawasan terganggu oleh pihak luar maupun oleh konflik pada salah satu dari unsur-unsur penyusun sistem stabilitas dan keamanan, maka tindakan luar biasa diperlukan dalam menyelesaikan konflik LCS.
Dalam hal ini ASEAN harus memiliki power politik yang dapat menekan penyelesaian konflik tersebut karena bagaimanapun ASEAN adalah organisasi regional terkemuka dikawasan.
Meskipun dalam kategori lambat dalam menangani konflik di LCS, ASEAN belum sepenuhnya gagal hanya saja masih dalam tingkat kesulitan yang mana ASEAN harus memiliki tindakan alternatif kedepan bukan pada fokus terhadap kegagalan penyelesaian konflik saat ini. (***)