Oleh: Harsen Roy Tampomuri (Alumni Unsrat)
Agama sangat erat dengan simbol tapi simbol bukanlah agama itu sendiri. Beragama secara simbolik hanya akan menjebak kita pada kesalehan artifisial (kesalehan karena simbol agama semata).
Semakin spesifik & menonjol simbol yg di tampakkan maka dianggap semakin dekat dengan derajat spiritualitas. Padahal spiritualitas juga terkandung upaya melepaskan diri dari segala kelekatan.
Jika kita senang dengan beragama secara simbolik maka sebuah kepastian konsekuensi adalah kita akan menghidupi agama yang formalistik, legalistik dan artifisial.
Bisa saja agama dijadikan sebuah candu. Kita terus terlena dengan kenikmatan ritual tapi alpa atau tak peduli dengan realitas disekeliling. Para imperialis juga sering menggunakan simbol-simbol agama untuk kekuasaan.
Perlu diingat bahwa pengingkaran akan Tuhan bahkan bisa datang dari kumpulan orang yang taat beribadah namun tidak memiliki kepekaan sosial.
Agama haruslah menjadi sesuatu yang substantif “way of life”, nilai hidup yang dinyatakan bukan sekedar dikatakan. Bukan sesuatu yang hanya dimantrakan tetapi radiasi hangatnya dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Hangat yang memberi semangat.
Agama haruslah menjadi pelita dalam kegelapan bukan api dalam sekam. Sesuatu yang substantif harus dimanifestasikan bukan dimanipulasikan.
Tidak terjebak pada ritual semata tapi holistik dengan nyatanya kesalehan sosial. Agama harus hadir membela mereka yang tertindas bukan menjadi alat penindasan. Bukan alat pembenaran untuk penggunaan kekerasan tapi pemberi semangat untuk memerangi kekerasan.
Berhentilah menginstrumentasikan agama untuk gerilya berebut kuasa. Agama janganlah semakin memperluas dan mempertajam konflik.
Hadirlah agama untuk perdamaian, hadirlah agama sebagai pemersatu. Kita berbeda bukan untuk saling membeda-bedakan dan menegasikan.
Kita berbeda untuk bersatu, bukan menjadi satu tetapi menjadi bersatu. Beragamalah secara substantif bukan simbolik semata!. (***/risatsanger)
Oleh: Harsen Roy Tampomuri (Alumni Unsrat)
Agama sangat erat dengan simbol tapi simbol bukanlah agama itu sendiri. Beragama secara simbolik hanya akan menjebak kita pada kesalehan artifisial (kesalehan karena simbol agama semata).
Semakin spesifik & menonjol simbol yg di tampakkan maka dianggap semakin dekat dengan derajat spiritualitas. Padahal spiritualitas juga terkandung upaya melepaskan diri dari segala kelekatan.
Jika kita senang dengan beragama secara simbolik maka sebuah kepastian konsekuensi adalah kita akan menghidupi agama yang formalistik, legalistik dan artifisial.
Bisa saja agama dijadikan sebuah candu. Kita terus terlena dengan kenikmatan ritual tapi alpa atau tak peduli dengan realitas disekeliling. Para imperialis juga sering menggunakan simbol-simbol agama untuk kekuasaan.
Perlu diingat bahwa pengingkaran akan Tuhan bahkan bisa datang dari kumpulan orang yang taat beribadah namun tidak memiliki kepekaan sosial.
Agama haruslah menjadi sesuatu yang substantif “way of life”, nilai hidup yang dinyatakan bukan sekedar dikatakan. Bukan sesuatu yang hanya dimantrakan tetapi radiasi hangatnya dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Hangat yang memberi semangat.
Agama haruslah menjadi pelita dalam kegelapan bukan api dalam sekam. Sesuatu yang substantif harus dimanifestasikan bukan dimanipulasikan.
Tidak terjebak pada ritual semata tapi holistik dengan nyatanya kesalehan sosial. Agama harus hadir membela mereka yang tertindas bukan menjadi alat penindasan. Bukan alat pembenaran untuk penggunaan kekerasan tapi pemberi semangat untuk memerangi kekerasan.
Berhentilah menginstrumentasikan agama untuk gerilya berebut kuasa. Agama janganlah semakin memperluas dan mempertajam konflik.
Hadirlah agama untuk perdamaian, hadirlah agama sebagai pemersatu. Kita berbeda bukan untuk saling membeda-bedakan dan menegasikan.
Kita berbeda untuk bersatu, bukan menjadi satu tetapi menjadi bersatu. Beragamalah secara substantif bukan simbolik semata!. (***/risatsanger)