Airmadidi – Berikut penyataan Edo Rahman, Eksekutif Nasional Walhi terkait konflik sosial yang terjadi di Pulau Bangka yang dikutip melalui akun facebook pribadinya yang dikirimkan ke grup Save Pulau Bangka.
Mr. Yang adalah nama yang cukup akrab di kehidupan sehari-hari warga Pulau Bangka dan dia dikenal sebagai bos besar dari PT. Mikgro Metal Perdana yang sejak Oktober 2011 lalu telah membuat kehidupan warga Pulau Bangka menjadi tidak tenang dan bahkan sudah menjadi konflik sosial antar sesama warga, sesama keluarga, dan bahkan sesama saudara pun harus saling berkonflik, hanya karena kepentingan PT. MMP yang akan melakukan penambangan bijih besi di pulau tersebut.
Kekuatan uang yang dimiliki oleh PT. MMP ini sangat luar biasa, sebagaimana sering mereka publikasi bahwa investasi perusahaan tersebut antara 17 sampai 21 Trilyun di atas Pulau Bangka yang luasnya kurang lebih 4.700 hektar. Mr. Yang sangat pandai melakukan loby-loby politik dan bahkan dengan keterbatasannya menguasai bahasa inggris, dia mampu menghipnotis Bupati Minahasa Utara bahkan Gubernur Sulawesi Utara untuk kemudian mau menjual warga Pulau Bangka, mau menghilangkan hak-hak dasar warga Pulau Bangka dan bahkan mau membohongi hukum yang berlaku di Republik Indonesia hanya untuk kemauan Mr. Yang.
Bukan hanya Bupati Minut dan Gubernur Sulut yang berhasil tunduk pada telunjuk Mr. Yang, tetapi juga sampai ke Aparat Kepolisian. Tidak tanggung-tanggung aparat kepolisian ini melindungi orang-orang asing asal China yang bekerja untuk PT. MMP, agar tidak ketahuan oleh warga Pulau Bangka, orang tersebut diberikan baju rompi yang biasa digunakan oleh Korps Brimob dalam melakukan pengamanan. Warga mengira bahwa orang itu adalah anggota Korps Brimob Polda Sulut tetapi ternyata salah satu orang penting PT. MMP yang wajahnya tidak asing bagi warga Pulau Bangka, dan untungnya kejadian tersebut sempat terdokumentasikan dengan baik oleh warga Pulau Bangka yang saat itu berupaya menghadang alat-alat berat PT. MMP untuk mendarat di Pulau Bangka.
Fakta yang paling menyedihkan adalah, kemenangan warga Pulau Bangka dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 291 K/TUN/2013 pun tak dianggap oleh Mr. Yang, PT.MMP sebagai tergugat intervensi dinyatakan sebagai pihak yang kalah bersama Bupati Minahasa Utara sebagai tergugat. Keputusan Majelis Hakim Agung tersebut tidak dianggap sama sekali, bahkan komentar-komentar Bupati Minahasa Utara dan Mr. Yang pasca putusan tersebut menganggap bahwa keputusan itu sudah kadaluwarsa, tidak sesuai dengan objek hukum dan lain-lain. Bupati Minut seolah-olah jauh lebih cerdas dan lebih adil dibanding putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung, hakim-hakim agung yang sudah puluhan tahun mengadili perkara serupa dan bahkan seleksi untuk menjadi hakim agung pun sangat ketat, tapi oleh Bupati Minut dan Mr. Yang dibuat menjadi tak berarti apa-apa.
Sangat ironis memang, seorang warga asing asal China yang bernama Mr. Yang kemudian bisa mengendalikan institusi peradilan tertinggi di Republik Indonesia melalui seorang bupati kepala daerah untuk tidak patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Bisa dibayangkan jika kejadian seperti kasus Pulau Bangka ini terjadi di wilayah-wilayah lain dan kemudian bupati-bupati tersebut juga mengabaikan keputusan Mahkamah Agung seperti yang dilakukan oleh Sompie Singal, maka negara ini akan semakin jelas menuju ke sebuah kehancuran demokrasi. Rakyat lah yang kemudian menjadi korban dari permainan kotor tersebut.
Warga Pulau Bangka adalah warga yang taat hukum dan sangat menghormati aturan-aturan yang berlaku di Republik Indonesia. Sebagai masyarakat yang berada dibawah yuridiksi hukum Indonesia, justru memetik pembelajaran positif dari upaya-upaya yang telah mereka lakukan agar tidak berbuat anarkis dan tidak menginginkan timbulnya korban ataupun kerugian-kerugian materil dari sebuah proses perjuangan dalam mempertahankan sumber-sumber agraria mereka. Jalur hukum adalah upaya yang paling tepat menurut mereka.
Namun begitulah fakta yang terjadi ketika warga sudah maksimal berjuang untuk membatalkan IUP Eksplorasi PT. MMP, perusahaan tetap saja beraktifitas dan Bupati Minut semakin bebas menginjak-injak keputusan Mahkamah Agung RI dan tidak mau menjalankan putusan tersebut yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kemugkinan, ada faktor lain yang juga turut bermain. Misalnya kedekatan Gubernur Sulut dengan Ketua Mahkamah Agung, ketika SHS menjadi Walikota Bitung dan Hatta Ali sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kota Bitung dan kemudian bagaimana Gubernur SHS mati-matian mempertahankan dan membela Mr. Yang atas nama investasi, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, meskipun tidak masalah mengabaikan keputusan Mahkamah Agung karena yang memimpin institusi tersebut adalah teman dekat SHS.
Bahkan kemungkinan juga ada pengaruh dari hasil pertemuan tertutup antara Mr. Yang dengan Megawati Soekarno Putri sebelum pesta demokrasi pilpres berlangsung. Dokumentasi pertemuan antara Mr. Yang dan Megawati juga telah beredar di media-media sosial. Semoga itu tidak ada kaitannya, baik kedekatan antara Gubernur Sulut dan Ketua Mahkamah Agung maupun pertemuan antara Mr. Yang dengan Megawati dengan polemik hukum kasus Pulau Bangka yang saat ini terus berlanjut.
Mr. Yang memang sangat piawai mempengaruhi pengambil keputusan, tidak hanya di level eksekutif pemerintah Sulawesi Utara tetapi juga di level legislatif, baik di Kabupaten Minut maupun di Provinsi Sulut. Untuk legislatif Kabupaten Minut, tak usah dikuatirkan lagi keberhasilan Mr. Yang bahkan para legislator tersebut seolah-olah menganggap tidak ada persoalan ditingkat konstituen mereka, khususnya warga Pulau Bangka. Pada level provinsi, Mr. Yang juga telah berhasil mendorong perubahan draf Ranperda RTRW Sulut di masa-masa terakhir penetapan. Pulau Bangka yang tadinya hanya untuk pengembangan sektor perikanan dan pariwisata, namun dengan terbitnya Perda No. 1 Tahun 2014 tentang RTRW Sulawesi Utara, Pulau Bangka kini menjadi pengembangan sektor Perikanan, Pariwisata dan Pertambangan. Istilah yang sering di gadang-gadang oleh Bupati Minut adalah kawasan 3 in 1, seperti istilah makanan atau minuman instan yang bisa cepat di konsumsi tetapi rentan dengan penyakit.
Pada bulan Agustus 2015 nanti, rakyat Sulawesi Utara akan memilih gubernur yang baru, entah siapa lagi yang akan memimpin Sulawesi Utara pasca SHS berkuasa. Mungkin patut dicoba untuk mengusulkan Mr. Yang menjadi salah satu calon wakil gubernur Sulut periode 2015 – 2020. Dengan modal investasi yang dia miliki, dengan kepiawaian dia melakukan loby-loby politik, dengan kemahiran dia menciptakan konflik sosial dan dengan kekuatan dia mampu membuat Mahkamah Agung dan Aparat Kepolisian menjadi tidak berdaya, bukan hal yang tidak mungkin untuk terjadi nanti. Tinggal kemudian, apakah Mr. Yang mau dengan segera mengubah kewarganegaraannya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). (*/leriandokambey)
Airmadidi – Berikut penyataan Edo Rahman, Eksekutif Nasional Walhi terkait konflik sosial yang terjadi di Pulau Bangka yang dikutip melalui akun facebook pribadinya yang dikirimkan ke grup Save Pulau Bangka.
Mr. Yang adalah nama yang cukup akrab di kehidupan sehari-hari warga Pulau Bangka dan dia dikenal sebagai bos besar dari PT. Mikgro Metal Perdana yang sejak Oktober 2011 lalu telah membuat kehidupan warga Pulau Bangka menjadi tidak tenang dan bahkan sudah menjadi konflik sosial antar sesama warga, sesama keluarga, dan bahkan sesama saudara pun harus saling berkonflik, hanya karena kepentingan PT. MMP yang akan melakukan penambangan bijih besi di pulau tersebut.
Kekuatan uang yang dimiliki oleh PT. MMP ini sangat luar biasa, sebagaimana sering mereka publikasi bahwa investasi perusahaan tersebut antara 17 sampai 21 Trilyun di atas Pulau Bangka yang luasnya kurang lebih 4.700 hektar. Mr. Yang sangat pandai melakukan loby-loby politik dan bahkan dengan keterbatasannya menguasai bahasa inggris, dia mampu menghipnotis Bupati Minahasa Utara bahkan Gubernur Sulawesi Utara untuk kemudian mau menjual warga Pulau Bangka, mau menghilangkan hak-hak dasar warga Pulau Bangka dan bahkan mau membohongi hukum yang berlaku di Republik Indonesia hanya untuk kemauan Mr. Yang.
Bukan hanya Bupati Minut dan Gubernur Sulut yang berhasil tunduk pada telunjuk Mr. Yang, tetapi juga sampai ke Aparat Kepolisian. Tidak tanggung-tanggung aparat kepolisian ini melindungi orang-orang asing asal China yang bekerja untuk PT. MMP, agar tidak ketahuan oleh warga Pulau Bangka, orang tersebut diberikan baju rompi yang biasa digunakan oleh Korps Brimob dalam melakukan pengamanan. Warga mengira bahwa orang itu adalah anggota Korps Brimob Polda Sulut tetapi ternyata salah satu orang penting PT. MMP yang wajahnya tidak asing bagi warga Pulau Bangka, dan untungnya kejadian tersebut sempat terdokumentasikan dengan baik oleh warga Pulau Bangka yang saat itu berupaya menghadang alat-alat berat PT. MMP untuk mendarat di Pulau Bangka.
Fakta yang paling menyedihkan adalah, kemenangan warga Pulau Bangka dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 291 K/TUN/2013 pun tak dianggap oleh Mr. Yang, PT.MMP sebagai tergugat intervensi dinyatakan sebagai pihak yang kalah bersama Bupati Minahasa Utara sebagai tergugat. Keputusan Majelis Hakim Agung tersebut tidak dianggap sama sekali, bahkan komentar-komentar Bupati Minahasa Utara dan Mr. Yang pasca putusan tersebut menganggap bahwa keputusan itu sudah kadaluwarsa, tidak sesuai dengan objek hukum dan lain-lain. Bupati Minut seolah-olah jauh lebih cerdas dan lebih adil dibanding putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung, hakim-hakim agung yang sudah puluhan tahun mengadili perkara serupa dan bahkan seleksi untuk menjadi hakim agung pun sangat ketat, tapi oleh Bupati Minut dan Mr. Yang dibuat menjadi tak berarti apa-apa.
Sangat ironis memang, seorang warga asing asal China yang bernama Mr. Yang kemudian bisa mengendalikan institusi peradilan tertinggi di Republik Indonesia melalui seorang bupati kepala daerah untuk tidak patuh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Bisa dibayangkan jika kejadian seperti kasus Pulau Bangka ini terjadi di wilayah-wilayah lain dan kemudian bupati-bupati tersebut juga mengabaikan keputusan Mahkamah Agung seperti yang dilakukan oleh Sompie Singal, maka negara ini akan semakin jelas menuju ke sebuah kehancuran demokrasi. Rakyat lah yang kemudian menjadi korban dari permainan kotor tersebut.
Warga Pulau Bangka adalah warga yang taat hukum dan sangat menghormati aturan-aturan yang berlaku di Republik Indonesia. Sebagai masyarakat yang berada dibawah yuridiksi hukum Indonesia, justru memetik pembelajaran positif dari upaya-upaya yang telah mereka lakukan agar tidak berbuat anarkis dan tidak menginginkan timbulnya korban ataupun kerugian-kerugian materil dari sebuah proses perjuangan dalam mempertahankan sumber-sumber agraria mereka. Jalur hukum adalah upaya yang paling tepat menurut mereka.
Namun begitulah fakta yang terjadi ketika warga sudah maksimal berjuang untuk membatalkan IUP Eksplorasi PT. MMP, perusahaan tetap saja beraktifitas dan Bupati Minut semakin bebas menginjak-injak keputusan Mahkamah Agung RI dan tidak mau menjalankan putusan tersebut yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kemugkinan, ada faktor lain yang juga turut bermain. Misalnya kedekatan Gubernur Sulut dengan Ketua Mahkamah Agung, ketika SHS menjadi Walikota Bitung dan Hatta Ali sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kota Bitung dan kemudian bagaimana Gubernur SHS mati-matian mempertahankan dan membela Mr. Yang atas nama investasi, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, meskipun tidak masalah mengabaikan keputusan Mahkamah Agung karena yang memimpin institusi tersebut adalah teman dekat SHS.
Bahkan kemungkinan juga ada pengaruh dari hasil pertemuan tertutup antara Mr. Yang dengan Megawati Soekarno Putri sebelum pesta demokrasi pilpres berlangsung. Dokumentasi pertemuan antara Mr. Yang dan Megawati juga telah beredar di media-media sosial. Semoga itu tidak ada kaitannya, baik kedekatan antara Gubernur Sulut dan Ketua Mahkamah Agung maupun pertemuan antara Mr. Yang dengan Megawati dengan polemik hukum kasus Pulau Bangka yang saat ini terus berlanjut.
Mr. Yang memang sangat piawai mempengaruhi pengambil keputusan, tidak hanya di level eksekutif pemerintah Sulawesi Utara tetapi juga di level legislatif, baik di Kabupaten Minut maupun di Provinsi Sulut. Untuk legislatif Kabupaten Minut, tak usah dikuatirkan lagi keberhasilan Mr. Yang bahkan para legislator tersebut seolah-olah menganggap tidak ada persoalan ditingkat konstituen mereka, khususnya warga Pulau Bangka. Pada level provinsi, Mr. Yang juga telah berhasil mendorong perubahan draf Ranperda RTRW Sulut di masa-masa terakhir penetapan. Pulau Bangka yang tadinya hanya untuk pengembangan sektor perikanan dan pariwisata, namun dengan terbitnya Perda No. 1 Tahun 2014 tentang RTRW Sulawesi Utara, Pulau Bangka kini menjadi pengembangan sektor Perikanan, Pariwisata dan Pertambangan. Istilah yang sering di gadang-gadang oleh Bupati Minut adalah kawasan 3 in 1, seperti istilah makanan atau minuman instan yang bisa cepat di konsumsi tetapi rentan dengan penyakit.
Pada bulan Agustus 2015 nanti, rakyat Sulawesi Utara akan memilih gubernur yang baru, entah siapa lagi yang akan memimpin Sulawesi Utara pasca SHS berkuasa. Mungkin patut dicoba untuk mengusulkan Mr. Yang menjadi salah satu calon wakil gubernur Sulut periode 2015 – 2020. Dengan modal investasi yang dia miliki, dengan kepiawaian dia melakukan loby-loby politik, dengan kemahiran dia menciptakan konflik sosial dan dengan kekuatan dia mampu membuat Mahkamah Agung dan Aparat Kepolisian menjadi tidak berdaya, bukan hal yang tidak mungkin untuk terjadi nanti. Tinggal kemudian, apakah Mr. Yang mau dengan segera mengubah kewarganegaraannya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). (*/leriandokambey)