Manado, BeritaManado.com – Pengurus Majelis Pengajian Tauhid Tasawuf Indonesia (MPTT-I) Kabupaten Minahasa Utara (Minut) mendatangi DPRD Sulawesi Utara, Selasa (13/2/2018).
Mereka mempertanyakan pernyataan anggota DPRD Sulut, Netty Agnes Pantouw soal adanya aduan masyarakat tentang aktifitas penyebaran ajaran radikalisme di Desa Maen Kecamatan Likupang Timur dan Desa Munte Kecamatan Likupang Barat pada rapat paripurna, Senin (12/2/2018) lalu.
Pembina MPTT-I Minut, Sarjan Maramis, meminta agar Komisi I bidang Pemerintahan dan Hukum untuk melakukan hearing terkait pernyataan Netty Pantow tersebut.
“Setahu kami, di desa kami tidak ada ajaran yang disampaikan seperti yang disampaikan ibu Netty Pantow. Baik di Desa Maen maupun Desa Munte. Kami berharap Komisi I menjadwalkan pertemukan dengan ibu Netty Pantow agar masalah ini jelas dan terklarifikasi,“ terang Sarjan Maramis.
Sarjan Maramis yang juga merupakan Kepala Desa Maen ini, kepada wartawan menyatakan penyesalannya atas sikap Netty Pantow yang terlalu cepat menyampaikan aduan masyarakat tersebut di rapat paripurna tanpa melakukan klarifikasi dengan pemerintah desa.
“Ibu Netty Pantow tidak tahu persoalan awal di sana. Ini sebenarnya masalah pribadi, yang seharusnya tidak dikonsumsi publik,” tambah Maramis.
Maramis mengungkapkan bahwa di desanya ada ‘persaingan’ antara dua oknum yang mencalonkan diri sebagai imam mesjid.
“Dua orang ini sama-sama sekolah di Aceh. Orang yang pertama pulang kemudian menjadi Imam. Setelah beberapa waktu, orang yang pertama pulang setelah melanjutkan kuliah di Mesir. Orang ini kemudian mencalonkan diri jadi iman dan menang. Jadi ini interest pribadi,” terang dia panjang.
Soal beberapa warga yang mengadu pada Netty Pantow sebagai anggota DPRD dari daerah pemilihan Minahasa Utara, yang diketahui bernama Hizbulah dan Bayik, diakui Maramis adalah warga setempat.
“Tapi harus ditanyakan, mereka ini apa dan siapa di desa. Tokoh masyarkat kah atau warga biasa? Jadi jangan sembarang langsung disampaikan di rapat paripurna,” tandas Maramis.
Meski ada masalah ini, Maramis menyatakan bahwa di desanya tidak ada konflik hingga nyaris rusuh sebagaimana yang diadukan Hizbulah Cs kepada Netty Pantow.
“Saya menghimbau kepada masyarakat di desa kami untuk tetap menjaga kerukunan yang selama ini terjaga. Masalah ini jangan sampai membuat kita berkonflik, tapi harus tetap rukun,” kunci Maramis.
Menanggapi ini, Ketua Komisi I, Ferdinand Mewengkang menyatakan siap mempertemukan MPPTT-I Minut dengan Netty Pantow dalam agenda resmi.
“Silahkan membuat surat resmi ditujukan kepada Ketua DPRD Sulut dan nanti akan diagendakan secara resmi pula,” ungkap Ferdinand Mewengkang.
Sebelumnya, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara dari Partai Demokrat, Netty Agnes Pantow, sempat mengungkapkan ada gerakan radikalisme di Desa Maen Kecamatan Likupang Timur dan Desa Munte Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara.
Pernyataan Netty Pantow tersebut sempat dibantah Kapolres Minahasa Utara, AKBP Alfaris Patiwael, yang menyatakan bahwa tidak benar ada gerakan radikalisme di dua desa tersebut.
Terkait bantahan Kapolres Minahasa Utara tersebut, Netty Pantow mengatakan bahwa dirinya sebagai perwakilan masyarakat di DPRD wajib menyampaikan kepada eksekutif setiap keluhan masyarakat.
“Yang saya sampaikan itu sesuai aduan masyarakat yang mana mereka datang kepada saya bahkan datang di gedung DPRD. Saya wajib meneruskan penyampaian masyarakat itu. Soal kebenaran dari informasi tersebut menjadi kewajiban institusi terkait menindaklanjuti. Kami anggota DPRD berbicara sesuai hak imunitas kami,” ujar Netty Pantow kepada BeritaManado.com, Selasa (13/2/2018) malam.
Sebelumnya, Kapolres Minahasa Utara, AKBP Alfaris Patiwael, menyayangkan pernyataan Netty Pantow yang menurutnya tidak seharusnya anggota DPRD berbicara seperti itu.
“Anggota DPRD tidak seharusnya menginformasikan ke publik berita prematur. Jika memang ada gerakan radikalisme, silahkan laporkan ke pemerintah,” tandas Kapolres.
Diketahui, Netty Agnes Pantow, mengungkapkan adanya gerakan radikalisme di wilayah Desa Maen, Kecamatan Likupang Timur dan Desa Munte, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara.
Hal tersebut dibeberkan Netty Pantow pada rapat paripurna DPRD Sulut yang dihadiri Gubernur Olly Dondokambey, Senin (12/2/2018), menindaklanjuti laporan masyarakat.
“Warga datang ke rumah saya dan tadi pagi datang juga ke kantor DPRD mengadukan hal ini. Bahwa, ada oknum, orang Aceh yang mengajarkan paham-paham radikalisme. Dia menyebarkan ajaran, bahwa anak-anak tidak perlu sekolah,” ujar Netty Pantow.
Netty Pantow juga mengungkap laporan lainnya dari warga muslim bahwa oknum tersebut mengajarkan tidak perlu sembahyang di mesjid, cukup di bilik-bilik tertentu.
“Saya tidak paham dengan ajaran muslim, tapi ini yang menjadi aduan warga kepada saya. Bahwa ajaran yang disebarkan orang Aceh itu sudah sangat meresahkan. Bahkan, orang-orang di sana so ja baku angka parang (masyarakat di sana sudah saling mengangkat parang),” tandas politisi Partai Demokrat sudah periode kedua di DPRD Sulut ini.
Netty Pantow menambahkan bahwa dari beberapa laporan yang disampaikan warga dirinya tidak bisa memaparkan secara terbuka karena bersifat sensitif dan akan disampaikan langsung kepada pemerintah.
“Karena warga Aceh tersebut datang atas nama organisasi. Pemerintah harus secepatnya merespon, apalagi di paripurna ini hadir kepolisian, TNI, BIN dan pejabat terkait lainnya,” tukas personil Komisi 1 yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM ini.
(JerryPalohoon)
Manado, BeritaManado.com – Pengurus Majelis Pengajian Tauhid Tasawuf Indonesia (MPTT-I) Kabupaten Minahasa Utara (Minut) mendatangi DPRD Sulawesi Utara, Selasa (13/2/2018).
Mereka mempertanyakan pernyataan anggota DPRD Sulut, Netty Agnes Pantouw soal adanya aduan masyarakat tentang aktifitas penyebaran ajaran radikalisme di Desa Maen Kecamatan Likupang Timur dan Desa Munte Kecamatan Likupang Barat pada rapat paripurna, Senin (12/2/2018) lalu.
Pembina MPTT-I Minut, Sarjan Maramis, meminta agar Komisi I bidang Pemerintahan dan Hukum untuk melakukan hearing terkait pernyataan Netty Pantow tersebut.
“Setahu kami, di desa kami tidak ada ajaran yang disampaikan seperti yang disampaikan ibu Netty Pantow. Baik di Desa Maen maupun Desa Munte. Kami berharap Komisi I menjadwalkan pertemukan dengan ibu Netty Pantow agar masalah ini jelas dan terklarifikasi,“ terang Sarjan Maramis.
Sarjan Maramis yang juga merupakan Kepala Desa Maen ini, kepada wartawan menyatakan penyesalannya atas sikap Netty Pantow yang terlalu cepat menyampaikan aduan masyarakat tersebut di rapat paripurna tanpa melakukan klarifikasi dengan pemerintah desa.
“Ibu Netty Pantow tidak tahu persoalan awal di sana. Ini sebenarnya masalah pribadi, yang seharusnya tidak dikonsumsi publik,” tambah Maramis.
Maramis mengungkapkan bahwa di desanya ada ‘persaingan’ antara dua oknum yang mencalonkan diri sebagai imam mesjid.
“Dua orang ini sama-sama sekolah di Aceh. Orang yang pertama pulang kemudian menjadi Imam. Setelah beberapa waktu, orang yang pertama pulang setelah melanjutkan kuliah di Mesir. Orang ini kemudian mencalonkan diri jadi iman dan menang. Jadi ini interest pribadi,” terang dia panjang.
Soal beberapa warga yang mengadu pada Netty Pantow sebagai anggota DPRD dari daerah pemilihan Minahasa Utara, yang diketahui bernama Hizbulah dan Bayik, diakui Maramis adalah warga setempat.
“Tapi harus ditanyakan, mereka ini apa dan siapa di desa. Tokoh masyarkat kah atau warga biasa? Jadi jangan sembarang langsung disampaikan di rapat paripurna,” tandas Maramis.
Meski ada masalah ini, Maramis menyatakan bahwa di desanya tidak ada konflik hingga nyaris rusuh sebagaimana yang diadukan Hizbulah Cs kepada Netty Pantow.
“Saya menghimbau kepada masyarakat di desa kami untuk tetap menjaga kerukunan yang selama ini terjaga. Masalah ini jangan sampai membuat kita berkonflik, tapi harus tetap rukun,” kunci Maramis.
Menanggapi ini, Ketua Komisi I, Ferdinand Mewengkang menyatakan siap mempertemukan MPPTT-I Minut dengan Netty Pantow dalam agenda resmi.
“Silahkan membuat surat resmi ditujukan kepada Ketua DPRD Sulut dan nanti akan diagendakan secara resmi pula,” ungkap Ferdinand Mewengkang.
Sebelumnya, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara dari Partai Demokrat, Netty Agnes Pantow, sempat mengungkapkan ada gerakan radikalisme di Desa Maen Kecamatan Likupang Timur dan Desa Munte Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara.
Pernyataan Netty Pantow tersebut sempat dibantah Kapolres Minahasa Utara, AKBP Alfaris Patiwael, yang menyatakan bahwa tidak benar ada gerakan radikalisme di dua desa tersebut.
Terkait bantahan Kapolres Minahasa Utara tersebut, Netty Pantow mengatakan bahwa dirinya sebagai perwakilan masyarakat di DPRD wajib menyampaikan kepada eksekutif setiap keluhan masyarakat.
“Yang saya sampaikan itu sesuai aduan masyarakat yang mana mereka datang kepada saya bahkan datang di gedung DPRD. Saya wajib meneruskan penyampaian masyarakat itu. Soal kebenaran dari informasi tersebut menjadi kewajiban institusi terkait menindaklanjuti. Kami anggota DPRD berbicara sesuai hak imunitas kami,” ujar Netty Pantow kepada BeritaManado.com, Selasa (13/2/2018) malam.
Sebelumnya, Kapolres Minahasa Utara, AKBP Alfaris Patiwael, menyayangkan pernyataan Netty Pantow yang menurutnya tidak seharusnya anggota DPRD berbicara seperti itu.
“Anggota DPRD tidak seharusnya menginformasikan ke publik berita prematur. Jika memang ada gerakan radikalisme, silahkan laporkan ke pemerintah,” tandas Kapolres.
Diketahui, Netty Agnes Pantow, mengungkapkan adanya gerakan radikalisme di wilayah Desa Maen, Kecamatan Likupang Timur dan Desa Munte, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara.
Hal tersebut dibeberkan Netty Pantow pada rapat paripurna DPRD Sulut yang dihadiri Gubernur Olly Dondokambey, Senin (12/2/2018), menindaklanjuti laporan masyarakat.
“Warga datang ke rumah saya dan tadi pagi datang juga ke kantor DPRD mengadukan hal ini. Bahwa, ada oknum, orang Aceh yang mengajarkan paham-paham radikalisme. Dia menyebarkan ajaran, bahwa anak-anak tidak perlu sekolah,” ujar Netty Pantow.
Netty Pantow juga mengungkap laporan lainnya dari warga muslim bahwa oknum tersebut mengajarkan tidak perlu sembahyang di mesjid, cukup di bilik-bilik tertentu.
“Saya tidak paham dengan ajaran muslim, tapi ini yang menjadi aduan warga kepada saya. Bahwa ajaran yang disebarkan orang Aceh itu sudah sangat meresahkan. Bahkan, orang-orang di sana so ja baku angka parang (masyarakat di sana sudah saling mengangkat parang),” tandas politisi Partai Demokrat sudah periode kedua di DPRD Sulut ini.
Netty Pantow menambahkan bahwa dari beberapa laporan yang disampaikan warga dirinya tidak bisa memaparkan secara terbuka karena bersifat sensitif dan akan disampaikan langsung kepada pemerintah.
“Karena warga Aceh tersebut datang atas nama organisasi. Pemerintah harus secepatnya merespon, apalagi di paripurna ini hadir kepolisian, TNI, BIN dan pejabat terkait lainnya,” tukas personil Komisi 1 yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM ini.
(JerryPalohoon)