Oleh; Frets A. Goraph (Mantan Aktifis GMKI Manado dan Mahasiswa Pascasarjana Fisip Universitas Airlangga)
(Sambungan)
Media Cermin Budaya Politik Kandidat
Kajian marketing politik juga berkaitan dengan budaya politik capres, maupun pemilih. Dalam studi awal marketing politik bukan hanya melihat pada produk, place, price, promotion, tetapi studi marketing politik harus dilihat secara komprehensif juga terkait budaya politik berarti studi perilaku politik secara kuantitatif dengan asumsi bahwa sikap politik secara langsung dapat menentukan kualitas praktek politik yang baik. Citra demokrasi akan terlihat baik atau buruk tergantung bagaimana perilaku budaya politik setiap warga Negara atau capres dalam berdemokrasi artinya kualitas demokrasi sangat tergantung pada budaya politik yang cerdas dari setiap masyarakat maupun kandidat. Berbagai bentuk kecurangan dalam pilres, konflik, monery politic, black campaign, dapat terhindar jika didukung dengan budaya politik yang sehat dari warga Negara.
Berbicara perilaku budaya politik tentunya memiliki niliai-nilai tersirat maupun tersurat di dalamnya tanpa hanya melihat budaya politik secara parsial. Sehingga pandangan perilaku budaya politik yang digunakan oleh Almond dan Verba (1963) telah dikritik sebagai tidak memadai untuk diperhitungkan bagaimana budaya bekerja dan bagaimana hal itu menjelaskan tindakan politik (Street, 1994). Oleh karena itu, gagasan yang lebih lengkap dari budaya politik yang mencakup luas bidang kehidupan sosial dan seluruh pikiran dan persepsi budaya sebagai wacana bahwa orang harus menafsirkan dan menggunakan budaya politik yang tergambar dalam diri seseorang. Kemudian pertanyaannya bagaimana dengan capres yang meminta warga menerima uang yang ditawarkan dalam “serangan fajar”. Jika kemudian ada pernyataan calon presiden yang menyarankan warga untuk menerima uang “serangan fajar” menjelang pemungutan suara Pemilu Presiden 2014. Maka hal Ini pernyataan yang sangat keliru karena memberi pendidikan politik buruk kepada masyarakat. Itu artinya memberikan toleransi pada praktik politik uang sama saja dengan bertoleransi terhadap tindakan korupsi dan menanamkan benih koruptor pada generasi mendatang. Jika sudah begini apa lagi yang patut kita teladani dari budaya politik kandidat, menurut saya ini tindakan atau perintah pembodohan kepada masyarakat Indonesia, maka pada titik ini secara kualitas dan kuantitas budaya politik patut dipertanyakan dan menjadi pertimbangan menjatuhkan pilihan politik menjelang pilpres.
Keunggulan Budaya Politik Pemilih
Mencermati keuntungan utama dari konsep budaya politik adalah untuk menunjukkan bahwa perilaku politik harus dilihat dalam konteks budaya. Perilaku politik ini disutradarai oleh interpretasi dan preferensi, bukan oleh fakta-fakta yang memperlihatkan kepentingan dan kekuasaan. Gagasan tentang budaya menekankan pentingnya makna, interpretasi, pembenaran, wacana dan lebih umumnya faktor kognitif dan afektif yang menjadi dasar tidak terjadinya minimalisme budaya politik. Menurut Duffield (1999) istilah budaya politik telah digunakan untuk menandakan orientasi subjektif ke arah dan asumsi tentang dunia politik yang mencirikan anggota masyarakat tertentu dan panduan untuk menginformasikan perilaku politik mereka. Ada tiga komponen dasar budaya politik seseorang yaitu, pertama; Kognitif, yang mencakup empiris dan sebab-akibat keyakinan. Kedua; Evaluatif, yang terdiri dari nilai-nilai, norma, dan penilaian moral. Ketiga; Ekspresif atau afektif, yang meliputi emosional cinta, pola identitas dan loyalitas, dan perasaan daya tarik, keengganan atau ketidakpedulian.
Dari ketiga komponen dasar budaya politik dapat kita artikan bahwa semakin tinggi kesadaran budaya politik, maka meningkatnya pula tingkat pendidikan dan keterampilan kognitif, evaluative dan afektif sebagai dasar perilaku politik seseorang. Dalam akses keterampilan ini akan memberikan berbagai sumber informasi politik yang dapat disaring dengan baik misalkan informasi politik melalui media massa dianggap memainkan peran penting dalam mengubah dasar perilaku pemilih yang telah mewakili pergeseran dari politik loyalitas terhadap politik pilihan. Selain itu, karena penyebab pada dasarnya dalam masyarakat terjadi perubahan dalam tingkat pendidikan, akses ke media massa, dan penurunan organisasi politik tradisional secara luas dianggap mempengaruhi semua masyarakat yang sama. Tetapi yang menjadi masalah adalah akses masyarakat tradisional terhadap informasi politik dengan rendahnya tingkat pendidikan, maka ini yang menjadi fenomena ironi politik mereka, menerima pseudo informasi politik media yang tidak fair dalam pemberitaan informasi dan pemasaran politik capres lain.
Jika modernisasi masyarakat telah membentuk pola budaya politik yang baik, kita akan berharap untuk menemukan perbedaan budaya politik dan pola perilaku dalam pemilihan. Dalam konteks sosial modernisasi, berbagai teknik pemasaran politik, seperti iklan politik dan jajak pendapat, yang digunakan sebagai sumber informasi massa yang berusaha mempengaruhi pemilih dalam perilaku individu dan budaya politik yang ada dalam masyarakat. Misalkan klaim masing-masing capres terhadap hasil survey serta rekonskruksi informasi politik telah menjadi sumber informasi yang terkadang dimanipulasi, direkayasa sehingga fakta politik tidak menjadi cermin untuk membangun opini publik melalui sumber informasi politik yang fair. Untuk mencapai hal tersebut peran berbagai media sebagai alat pemasaran politik harus pertama-tama dianggap positif, bermanfaat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat sebagai yang ditargetkan. Jika tidak, semuanya adalah sumber minimalisme budaya politik preman meronai arena politik demokrasi guna melegitimasi kekuasaan kandidat dan tidak akan berarti bagi kepentingan bangsa ini menjadi lebih baik. (*/selesai)
Oleh; Frets A. Goraph (Mantan Aktifis GMKI Manado dan Mahasiswa Pascasarjana Fisip Universitas Airlangga)
(Sambungan)
Media Cermin Budaya Politik Kandidat
Kajian marketing politik juga berkaitan dengan budaya politik capres, maupun pemilih. Dalam studi awal marketing politik bukan hanya melihat pada produk, place, price, promotion, tetapi studi marketing politik harus dilihat secara komprehensif juga terkait budaya politik berarti studi perilaku politik secara kuantitatif dengan asumsi bahwa sikap politik secara langsung dapat menentukan kualitas praktek politik yang baik. Citra demokrasi akan terlihat baik atau buruk tergantung bagaimana perilaku budaya politik setiap warga Negara atau capres dalam berdemokrasi artinya kualitas demokrasi sangat tergantung pada budaya politik yang cerdas dari setiap masyarakat maupun kandidat. Berbagai bentuk kecurangan dalam pilres, konflik, monery politic, black campaign, dapat terhindar jika didukung dengan budaya politik yang sehat dari warga Negara.
Berbicara perilaku budaya politik tentunya memiliki niliai-nilai tersirat maupun tersurat di dalamnya tanpa hanya melihat budaya politik secara parsial. Sehingga pandangan perilaku budaya politik yang digunakan oleh Almond dan Verba (1963) telah dikritik sebagai tidak memadai untuk diperhitungkan bagaimana budaya bekerja dan bagaimana hal itu menjelaskan tindakan politik (Street, 1994). Oleh karena itu, gagasan yang lebih lengkap dari budaya politik yang mencakup luas bidang kehidupan sosial dan seluruh pikiran dan persepsi budaya sebagai wacana bahwa orang harus menafsirkan dan menggunakan budaya politik yang tergambar dalam diri seseorang. Kemudian pertanyaannya bagaimana dengan capres yang meminta warga menerima uang yang ditawarkan dalam “serangan fajar”. Jika kemudian ada pernyataan calon presiden yang menyarankan warga untuk menerima uang “serangan fajar” menjelang pemungutan suara Pemilu Presiden 2014. Maka hal Ini pernyataan yang sangat keliru karena memberi pendidikan politik buruk kepada masyarakat. Itu artinya memberikan toleransi pada praktik politik uang sama saja dengan bertoleransi terhadap tindakan korupsi dan menanamkan benih koruptor pada generasi mendatang. Jika sudah begini apa lagi yang patut kita teladani dari budaya politik kandidat, menurut saya ini tindakan atau perintah pembodohan kepada masyarakat Indonesia, maka pada titik ini secara kualitas dan kuantitas budaya politik patut dipertanyakan dan menjadi pertimbangan menjatuhkan pilihan politik menjelang pilpres.
Keunggulan Budaya Politik Pemilih
Mencermati keuntungan utama dari konsep budaya politik adalah untuk menunjukkan bahwa perilaku politik harus dilihat dalam konteks budaya. Perilaku politik ini disutradarai oleh interpretasi dan preferensi, bukan oleh fakta-fakta yang memperlihatkan kepentingan dan kekuasaan. Gagasan tentang budaya menekankan pentingnya makna, interpretasi, pembenaran, wacana dan lebih umumnya faktor kognitif dan afektif yang menjadi dasar tidak terjadinya minimalisme budaya politik. Menurut Duffield (1999) istilah budaya politik telah digunakan untuk menandakan orientasi subjektif ke arah dan asumsi tentang dunia politik yang mencirikan anggota masyarakat tertentu dan panduan untuk menginformasikan perilaku politik mereka. Ada tiga komponen dasar budaya politik seseorang yaitu, pertama; Kognitif, yang mencakup empiris dan sebab-akibat keyakinan. Kedua; Evaluatif, yang terdiri dari nilai-nilai, norma, dan penilaian moral. Ketiga; Ekspresif atau afektif, yang meliputi emosional cinta, pola identitas dan loyalitas, dan perasaan daya tarik, keengganan atau ketidakpedulian.
Dari ketiga komponen dasar budaya politik dapat kita artikan bahwa semakin tinggi kesadaran budaya politik, maka meningkatnya pula tingkat pendidikan dan keterampilan kognitif, evaluative dan afektif sebagai dasar perilaku politik seseorang. Dalam akses keterampilan ini akan memberikan berbagai sumber informasi politik yang dapat disaring dengan baik misalkan informasi politik melalui media massa dianggap memainkan peran penting dalam mengubah dasar perilaku pemilih yang telah mewakili pergeseran dari politik loyalitas terhadap politik pilihan. Selain itu, karena penyebab pada dasarnya dalam masyarakat terjadi perubahan dalam tingkat pendidikan, akses ke media massa, dan penurunan organisasi politik tradisional secara luas dianggap mempengaruhi semua masyarakat yang sama. Tetapi yang menjadi masalah adalah akses masyarakat tradisional terhadap informasi politik dengan rendahnya tingkat pendidikan, maka ini yang menjadi fenomena ironi politik mereka, menerima pseudo informasi politik media yang tidak fair dalam pemberitaan informasi dan pemasaran politik capres lain.
Jika modernisasi masyarakat telah membentuk pola budaya politik yang baik, kita akan berharap untuk menemukan perbedaan budaya politik dan pola perilaku dalam pemilihan. Dalam konteks sosial modernisasi, berbagai teknik pemasaran politik, seperti iklan politik dan jajak pendapat, yang digunakan sebagai sumber informasi massa yang berusaha mempengaruhi pemilih dalam perilaku individu dan budaya politik yang ada dalam masyarakat. Misalkan klaim masing-masing capres terhadap hasil survey serta rekonskruksi informasi politik telah menjadi sumber informasi yang terkadang dimanipulasi, direkayasa sehingga fakta politik tidak menjadi cermin untuk membangun opini publik melalui sumber informasi politik yang fair. Untuk mencapai hal tersebut peran berbagai media sebagai alat pemasaran politik harus pertama-tama dianggap positif, bermanfaat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat sebagai yang ditargetkan. Jika tidak, semuanya adalah sumber minimalisme budaya politik preman meronai arena politik demokrasi guna melegitimasi kekuasaan kandidat dan tidak akan berarti bagi kepentingan bangsa ini menjadi lebih baik. (*/selesai)