Penulis: Richard Yonathan Nelwan, SH (Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (KMMH-UGM)
Tulisan ini dibarengi dengan iman. Kata “sempat” harus dimaknai sebagai “iman” atau keyakinan penulis akan Minahasa Utara kedepan. Kata “sempat” harus dimaknai sebagai suatu hal yang dulu, bukan yang akan datang.
Kata “sempat” harus dimaknai sebagai masa lalu, bukan masa depan. Ini sedikit opini tentang masa lalu dan masa datang. Opini , tentang si manis yang sempat diam.
Duduk manis sejak tahun 2003 sampai tahun 2015. 12 tahun sudah menjadi daerah kabupaten, hasil pemekaran sang bunda Minahasa, dibawah naungan ayahanda Sulawesi Utara.
Dalam dekapan ayahanda dan belaian bunda, tentulah Minahasa Utara tumbuh, berkembang, serta mewariskan kejayaan gilang gemilang, harusnya.
Betapa tidak, mulai dari warisan tanah subur sehingga menjadi sentra pertanian dan perkebunan di utara Sulawesi; sumber daya pertambangan yang melimpah ruah mulai dari emas hingga pasir di kaki Gunung Klabat; kekayaan laut, perikanan, serta pulau-pulau yang menyimpan berbagai macam potensinya di Wori, Likupang Barat, Likupang Timur, Kema dan Kauditan yang berbatasan langsung dengan laut; serta letak geografis yang sangat strategis sebagai jalur utama yang menghubungan kota Manado sebagai Ibukota Sulawesi Utara dengan kota Bitung yang mempunyai pelabuhan internasional di wilayah Pasifik.
Tak hanya itu, bandara Internasional Sam Ratulangi, sebagian wilayahnya juga merupakan warisan bagi Minahasa Utara. Jelas, ini semua adalah potensi yang begitu yang begitu luar biasa.
Poin yang ingin penulis sampaikan bahwa tidak ada alasan untuk berdiam dan hanya duduk manis melihat kekayaan Minahasa Utara. Tidak ada alasan untuk diam apalagi pesimis dengan masa depan Minahasa Utara.
Penulis sama sekali tidak menemukan alasan-alasan itu. Anak kandung Minahasa ini diwarisi kekayaan yang begitu luar biasa. Berbagai potensi ini harus menjadi akselerasi pembangunan dan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat Minahasa Utara.
Pemerintah Daerah oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sebagai suatu daerah otonom.
Jelaslah ini semua merupakan pendapatan asli daerah, dan bukan pendapatan asli “kelompok” tertentu saja. Pemerintah Daerah harus mampu merumuskan suatu public policy yang pro rakyat.
Pemerintah Daerah harus jelas-jelas memformulasikan berbagai kebijakan yang sesuai dengan potensi daerahnya dan melibatkan partisipasi publik.
Eksekutif dan legislatif harus bahu membahu dalam merumuskan peraturan daerah yang bernafaskan kesejahteraan rakyat dan bersemangatkan keadilan, bukan nafas kesengsaraan apalagi semangat menjajah rakyat.
Antara Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif sudah selayaknya memainkan perannya dengan baik. Rumuskan kebijakan tata ruang yang disiplin dan berlogika jangka panjang (sustainable), perbaiki berbagai kebijakan pertambangan yang hanya pro individu dan merusak lingkungan, serta tingkatkan taraf hidup masyarakat (pendidikan & lapangan kerja).
Partai politik sebagai pijakan lahirnya eksekutor dan legislator masa depan, tidak hanya terus asik dengan kepentingan elitis nan pragmatis, namun lupa bahwa tugas utamanya adalah memberikan pendidikan politik sesuai dengan ideologi dan perjuangan partainya.
Organisasi masyarakat harusnya menjalankan fungsinya sebagai mitra sekaligus pengawas pemerintah. Swasta sudah seharusnya menjadi mitra kerja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Serta masyarakat, menjadi konstituen yang tidak apatis dan latah politik, melainkan cerdas dan memiliki sikap politik yang prinsipiil. Sekiranya, saat “pilar-pilar” daerah ini memainkan perannya dengan baik, pastilah masa emas Minahasa Utara sudah ada di depan mata, sehingga bukan hanya sesuatu yang dikenang dan menjadi nostalgia belaka, melainkan dinikmati dan menjadi kebanggaan. (bersambung)
Penulis: Richard Yonathan Nelwan, SH (Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (KMMH-UGM)
Tulisan ini dibarengi dengan iman. Kata “sempat” harus dimaknai sebagai “iman” atau keyakinan penulis akan Minahasa Utara kedepan. Kata “sempat” harus dimaknai sebagai suatu hal yang dulu, bukan yang akan datang.
Kata “sempat” harus dimaknai sebagai masa lalu, bukan masa depan. Ini sedikit opini tentang masa lalu dan masa datang. Opini , tentang si manis yang sempat diam.
Duduk manis sejak tahun 2003 sampai tahun 2015. 12 tahun sudah menjadi daerah kabupaten, hasil pemekaran sang bunda Minahasa, dibawah naungan ayahanda Sulawesi Utara.
Dalam dekapan ayahanda dan belaian bunda, tentulah Minahasa Utara tumbuh, berkembang, serta mewariskan kejayaan gilang gemilang, harusnya.
Betapa tidak, mulai dari warisan tanah subur sehingga menjadi sentra pertanian dan perkebunan di utara Sulawesi; sumber daya pertambangan yang melimpah ruah mulai dari emas hingga pasir di kaki Gunung Klabat; kekayaan laut, perikanan, serta pulau-pulau yang menyimpan berbagai macam potensinya di Wori, Likupang Barat, Likupang Timur, Kema dan Kauditan yang berbatasan langsung dengan laut; serta letak geografis yang sangat strategis sebagai jalur utama yang menghubungan kota Manado sebagai Ibukota Sulawesi Utara dengan kota Bitung yang mempunyai pelabuhan internasional di wilayah Pasifik.
Tak hanya itu, bandara Internasional Sam Ratulangi, sebagian wilayahnya juga merupakan warisan bagi Minahasa Utara. Jelas, ini semua adalah potensi yang begitu yang begitu luar biasa.
Poin yang ingin penulis sampaikan bahwa tidak ada alasan untuk berdiam dan hanya duduk manis melihat kekayaan Minahasa Utara. Tidak ada alasan untuk diam apalagi pesimis dengan masa depan Minahasa Utara.
Penulis sama sekali tidak menemukan alasan-alasan itu. Anak kandung Minahasa ini diwarisi kekayaan yang begitu luar biasa. Berbagai potensi ini harus menjadi akselerasi pembangunan dan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat Minahasa Utara.
Pemerintah Daerah oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sebagai suatu daerah otonom.
Jelaslah ini semua merupakan pendapatan asli daerah, dan bukan pendapatan asli “kelompok” tertentu saja. Pemerintah Daerah harus mampu merumuskan suatu public policy yang pro rakyat.
Pemerintah Daerah harus jelas-jelas memformulasikan berbagai kebijakan yang sesuai dengan potensi daerahnya dan melibatkan partisipasi publik.
Eksekutif dan legislatif harus bahu membahu dalam merumuskan peraturan daerah yang bernafaskan kesejahteraan rakyat dan bersemangatkan keadilan, bukan nafas kesengsaraan apalagi semangat menjajah rakyat.
Antara Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif sudah selayaknya memainkan perannya dengan baik. Rumuskan kebijakan tata ruang yang disiplin dan berlogika jangka panjang (sustainable), perbaiki berbagai kebijakan pertambangan yang hanya pro individu dan merusak lingkungan, serta tingkatkan taraf hidup masyarakat (pendidikan & lapangan kerja).
Partai politik sebagai pijakan lahirnya eksekutor dan legislator masa depan, tidak hanya terus asik dengan kepentingan elitis nan pragmatis, namun lupa bahwa tugas utamanya adalah memberikan pendidikan politik sesuai dengan ideologi dan perjuangan partainya.
Organisasi masyarakat harusnya menjalankan fungsinya sebagai mitra sekaligus pengawas pemerintah. Swasta sudah seharusnya menjadi mitra kerja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Serta masyarakat, menjadi konstituen yang tidak apatis dan latah politik, melainkan cerdas dan memiliki sikap politik yang prinsipiil. Sekiranya, saat “pilar-pilar” daerah ini memainkan perannya dengan baik, pastilah masa emas Minahasa Utara sudah ada di depan mata, sehingga bukan hanya sesuatu yang dikenang dan menjadi nostalgia belaka, melainkan dinikmati dan menjadi kebanggaan. (bersambung)