Oleh: Dr ML Denny Tewu SE MM (DT). Akademisi (Universitas Kristen Indonesia, Jakarta). Politisi (Mantan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera). Pemimpin Politik Kristen (Majalah Narwastu). Pemimpin Pancasila (Yayasan Indonesia Satu). Profesional (Presiden Komisaris Kresna Insurance Tbk & Kresna Ventura Kapital
Manado, BeritaManado.com – Tindakan yang radikal dalam kaitan keinginan yang harus terpenuhi untuk mencapai tujuannya, itu sering terjadi di negara yang sedang belajar berdemokrasi, tetapi jika sudah menjadi sebuah paham yang radikal dalam berpolitik, artinya sudah menjadi radikalisme, hal ini yang harus diwaspadai dan diredam. Karena apa yang disebut radikalisme merupakan sikap ekstrim dalam aliran politik.
Kelompok yang berpaham radikalisme menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Paham seperti ini yang ditenggarai sudah masuk ke sekolah-sekolah, kampus-kampus dan rumah-rumah ibadah. Penyebaran paham ini dilakukan melalui ceramah-ceramah yang dilakukan oleh pengajar-pengajar agama beraliran keras. Paham ini jelas bertentangan dengan Pancasila, dengan nilai-nilai sejarah, budaya bangsa Indonesia dan menabrak nilai-nilai Sara yang dapat mengakibatkan perpecahan di kalangan anak bangsa.
Di tahun politik, tahun 2018 dan Pesta Demokrasi tahun 2019 mulai dimanfaatkan menjadi panggung oleh cukup banyak orang, di dalamnya termasuk para elit politik yang menggunakan paham ini dengan isu SARA untuk menjatuhkan lawan politiknya. Dan sebaliknya, pemilik paham radikalisme membonceng suasana politik yang memanas untuk membuat kekacauan.
Hal inilah yang harus diwaspadai semua pihak, untuk tidak membuat panggung bahkan membiarkan suasana yang diboncengi paham Radikalisme.
Yang harus diingat para elit politik untuk mencapai tujuannya, yang seharusnya luhur untuk memaslahatkan umat adalah tidak dengan jalan kekerasan, tidak membiarkan dirinya dimasuki paham radikalisme. Sebab jika sudah sampai pada titik itu, tidak akan ada tujuan yang tercapai. Tidak ada setitik pun kebaikan dari apa yang disebut kekacauan.
Paham Radikalisme itu jangan dibiarkan bertumbuh, setidaknya harus diredam secara bersama. Sebagaimana yang dikatakan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, ada lima cara yang saat ini dilakukan untuk mencegah proses radikalisasi.
Pertama, menetralisasi orang-orang yang berpotensi menjadi sender atau orang yang melakukan perekrutan.
Kedua, melemahkan ideologi radikal yang mereka coba sebarkan dengan membuat ideologi tandingan yang bersifat moderat.
Ketiga, menyebarkan ideologi tandingan tersebut kepada kelompok masyarakat yang rentan menjadi sasaran radikalisasi.
Keempat, dengan mengawasi media yang menjadi sarana penyebaran paham radikalisme.
Kelima, memahami konteks sosial dan budaya yang ada di setiap lapisan masyarakat.
Tentunya bukan hanya aparat yang dapat menahan lajunya paham ini dan meredamnya, tapi masyarakat umum juga harus terus diingatkan untuk tidak memberikan celah bagi penyebaran paham maupun berita-berita bohong.
Penggiat sosial media, para pelaku media juga harus diajak bicara untuk mengisi ruang massa mereka dengan nilai-nilai yang positif dan bukan memancing paham radikalisme bangkit. Bukan membiarkan perdebatan ditonton masyarakat yang dapat melahirkan tafsir-tafsir kebencian dan pada akhirnya merusak tatanan berbangsa dan bernegara.
Lidah itu meski tampak lemah dan kecil, tapi dapat membakar hutan yang luas. Artinya perkataan yang tampaknya tenang disampaikan, tapi bisa memantik kerusuhan. Perkataan yang tidak hanya diucapkan tapi dituliskan jika isinya kebohongan, fitnah, data yang tidak akurat, sudah pasti akan menimbulkan kekacauan.
Para Pemuka Agama memiliki peranan yang sangat penting untuk umat/jemaatnya berpikir, merasa, bertindak seturut dengan ajaran dalam kitab suci masing-masing. Semua ajaran tidak ada yang mengajarkan kejahatan, semua ajaran agama mengajarkan membawa damai.
Jadi, satu hal yang perlu ditanamkan, adalah tidak membiarkan paham radikalisme dihidupi oleh siapa pun, agama apa pun, untuk kepentingan apa pun.
Masing-masing orang sudah memiliki jalannya sendiri. Tidak ada sama sekali kebaikan dengan menginginkan apa yang tidak disediakan Tuhan baginya. Dengan berbuat baik dan damai pada semua orang, baik di masa kampanye, maupun pada saat pemilihan, pasti akan menuai kedamaian dan kesejahteraan pada saatnya nanti.
(***/PaulMoningka)