Manado, BeritaManado.com – Minggu 23 September 2018 secara resmi tahapan kampanye calon angota DPR, DPD, dan DPRD serta pasangan calon presiden dan wakil presiden dimulai. Serentak di seluruh Indonesia telah diawali dengan deklarasi kampanye damai. Tahapan ini akan berakhir pada 13 April 2019.
Kampanye merupakan salah satu tahapan penting dari semua rangkaian pemilu.
Akademisi Universitas Sam Ratulangi, Dr Ferry Daud Liando dalam kesempatannya menjadi narasumber di FGD yang diselenggarakan DPD KNPI Sulut, kemarin (26/9/2018), di Sekretariat KNPI, Koni, Sario Manado memberikan pandangannya terkait sudah masuknya tahapan kampanye.
Terkait pemilihan Presiden dan wakil Presiden, Ferry Liando mengatakan bahwa efektifitas kampanyepun menjadi tantangan. Calon yang hanya terdiri dari dua pasang memaksa pemilih terpola pada dua pilihan yaitu pemilih yang “suka” dan pemilih yang “tidak suka”.
“Artinya pemilih yang akan memilih Joko Widodo dan Maaruf Amin adalah pemilih yang karena tidak suka dengan Prabowo dan Sandiaga Uno. Sebaliknya pemilih yang akan memilih Prabowo dan Sandiaga Uno adalah pemilih yang karena tidak suka dengan pasangan Joko Widodo dan Maaruf Amin,” jelasnya.
Dalam hal ini dilanjutkan Ferry Liando, kampanye hanya sekedar memenuhi tahapan namun diragukan manfaatnya.
Bagi calon DPD, kampanye tak lain sekedar latihan berpidato. Menurutnya, semua tahu, kewenangan DPD sangat terbatas bahkan dikatakan DPD hanya sebagai siasat menampung tokoh-tokoh besar yang terabaikan.
“DPD belum jelas jenis kelaminnya, Apalagi Indonesia bukan menganut sistem negara federal seperti Amerika Serikat. Di sana ada senator sebagai representasi negara-negara bagian. Indonesia adalah negara kesatuan yang ndak memiliki negara bagian. Sikap politik memilih salah satu angng DPD. Kemungkinan bukan karena kampanye, tapi karena faktor sosiologis, faktor kesukaan atau kesenangan terhadap calon,” kata Ferry Liando
Keseragaman materi kampanye oleh masing-masing calon menyebabkan pemilih sulit menemukan pembeda.
Ia menjelaskan bahwa selama ini materi kampanye masing-masing calon cenderung copy paste. Satu teriak NKRI, yang lain-lain demikian. Satu teriak kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan yang lainpun begitu.
“Calonnya banyak dan berbeda, tapi visi dan programnya sama. Padahal tujuan kampanye adalah kesempatan calon menawarkan program. Calon yang menawarkan program dan kemudian program itu disenangi pemilih maka calon itu akan dipilih. Tapi pemilih akan sulit menentukan pilihan jika materi program masing-masing calon sifatnya duplikasi,” ujar Ferry Liando
Namun demikian bukan berarti kampanye akan kehilangan makna. Kampanye bisa dimanfaatkan untuk mengawal kedewasaan dalam berdemokrasi. Perlu kesadaran masing-masing tim kampanye membangun komitmen bahwa Pemilu bukan hanya sebuah proses untuk memilih pemimpin bagi masyarakat, tetapi merupakan sebuah momentum dan sarana pendidikan politik masyarakat.
“Artinya harus dilakukan dengan cara-cata beradab. Didik masyarakat dengan cara-cara berdemokrasi yang baik. Jangan merusak sendi-sendi mereka untuk ambisi kekuasaan. Tim kampanye yang baik bukan mengandalkan uang dalam meraih dukungan. Masing-masing tim kampanye harus memagari durinya dengan kode etik,” kata Ferry Liando.
Hal ini untuk dikatakannya menjaga proses Pemilu lebih bermartabat. Tim kampanye diharapkan tampil dengan suara moral dan Tidak saling memaki. tidak saling menghina dan memfitnah. Tidak saling menghujat dan mengobarkan berita bohong.
“Tim kampanye itu harus memberi contoh dan keteladanan berpolitik. Agar kemenangan yang diraih bukan hanya sekedar terpilihnya Presiden dan wakil Presiden, anggota legislatif namun juga kemenangan bagi para politisi dan masyarkat karena telah menjadi pemilih dan peserta pemilu yang bermartabat,” tutup Ferry Liando.
(PaulMoningka)