Manado — Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD.
Keputusan MA tersebut membuat mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019.
Terkait keputusan tersebut, kepada BeritaManado.com, Dr Ferry Liando, seorang pengamat politik yang juga akademisi ini mengatakan, putusan tersebut seperti menunjukkan bahwa MA tunduk pada aspek normatif yuridis.
“Bahwa hak dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan hanya bisa dibatasi oleh pengadilan atau UU bukan hanya melalui Peraturan KPU,” ujar Ferry.
Meski demikian, Ferry melanjutkan, harusnya MA tidak hanya menggunakan aspek keadilan normatif dalam membuat putusan, sebab keadilan hukum tidak hanya tunduk pada aspek yuridis tetapi juga harus mencakup juga aspek filosofis dan sosiologis yang biasa disebut keadilan subtantif.
“Sebab fakta sekarang publik lagi terguncang dengan keadaan di Malang dan Jambi yang hampir semua anggota DPRD jadi tersangka karena dugaan korupsi. Kalau saja UU pemilu tidak efektif menjaring caleg berkualitas, maka benteng terakhir adalah pada pemilih,” kata Ferry.
Ferry pun mengajukan saran yang penting untuk KPU terkait pemilihan umum, apabila caleg yang merupakan mantan narapidana akhirnya ada di kertas suara demi edukasi politik berkualitas bagi masyarakat.
“KPU perlu membuat format kertas suara yang berisi kode bagi caleg mantan narapidana. Masyarakat perlu di advokasi agar jangan memilih caleg yang pernah bermasalah hukum sebelumnya,” ucap Ferry.
(srisurya)
Manado — Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD.
Keputusan MA tersebut membuat mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019.
Terkait keputusan tersebut, kepada BeritaManado.com, Dr Ferry Liando, seorang pengamat politik yang juga akademisi ini mengatakan, putusan tersebut seperti menunjukkan bahwa MA tunduk pada aspek normatif yuridis.
“Bahwa hak dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan hanya bisa dibatasi oleh pengadilan atau UU bukan hanya melalui Peraturan KPU,” ujar Ferry.
Meski demikian, Ferry melanjutkan, harusnya MA tidak hanya menggunakan aspek keadilan normatif dalam membuat putusan, sebab keadilan hukum tidak hanya tunduk pada aspek yuridis tetapi juga harus mencakup juga aspek filosofis dan sosiologis yang biasa disebut keadilan subtantif.
“Sebab fakta sekarang publik lagi terguncang dengan keadaan di Malang dan Jambi yang hampir semua anggota DPRD jadi tersangka karena dugaan korupsi. Kalau saja UU pemilu tidak efektif menjaring caleg berkualitas, maka benteng terakhir adalah pada pemilih,” kata Ferry.
Ferry pun mengajukan saran yang penting untuk KPU terkait pemilihan umum, apabila caleg yang merupakan mantan narapidana akhirnya ada di kertas suara demi edukasi politik berkualitas bagi masyarakat.
“KPU perlu membuat format kertas suara yang berisi kode bagi caleg mantan narapidana. Masyarakat perlu di advokasi agar jangan memilih caleg yang pernah bermasalah hukum sebelumnya,” ucap Ferry.
(srisurya)