MANADO – Diversifikasi pangan atau penganekaragaman pangan yang kini menjadi program prioritas mewujudkan ketahanan pangan oleh pemerintah membutuhkan komitmen dan terobosan baru. Agar program tersebut cepat tercapai, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merekomendasikan pada pemerintah untuk membuat bank pangan nonberas.
Peneliti LIPI, Ary Wahyono, Rabu (23/03/11) lalu, dalam Sosialisasi Bank Pangan Non Beras di Kantor Badan Ketahanan Pangan (BKP) Jatim mengatakan, bank pangan nonberas adalah membangun sistem pangan lokal dengan tujuan memperkuat basis bagi terwujudnya kedaulatan pangan desa. Dengan adanya kedaulatan pangan lokal masyarakan dapat menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan diproduksi dan dikonsumsi serta diperdagangkan.
Dikatakannya, ketergantungan masyarakat Indonesia kepada sumber pangan
karbohidrat beras dan gandum/tepung terigu, serta sumber pangan protein hingga saat ini masih sangat besar. Pada tahun 2007 misalnya, impor kelompok pangan dalam bentuk padi-padian mencapai angka 62,2 persen padahal target yang dipatok hanya 50 persen, hal ini melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah. Sementara impor kelompok pangan nonberas, seperti umbi-umbian, baru 3,1 persen dari anjuran 6 persen, sayur serta buah sebesar 5 persen dari anjuran 6 persen.
Membangun sistem pangan lokal diharapkan dapat menyelamatkan sistem cadangan pangan yang pernah berkembang di masyarakat. Pengembangan sistem cadangan lokal dapat menjamin terpenuhinya pangan seluruh warga desa dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu. Khususnya saat terjadi kelangkaan beras atau harga beras naik.
Kebijakan swasembada beras di Indonesia secara perlahan telah mengubah
kebiasaan pangan nonberas menjadi pengan beras. Namun demikian, dari penelitian LIPI pada tahun 2009 di Kabupaten Trenggalek dan Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, menyebutkan tidak semua masyarakat secara serta merta beralih ke pangan beras. Pola konsumsi pangan nonberas merupakan bagian dari kebiasaan sosial masyarakat yang telah terjadi secara turun-menurun.
Masih bertahannya pola konsumsi pangan nonberas juga dipengaruhi tingkat
kemampuan ekonomi masyarakat yang tidak sama. “Tidak semua masyarakat mampu membeli beras, ada sebagian membeli beras untuk bahan campuran,” kataya.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kedaulatan pangan lokal dapat dilakukan melalui peningkatan produksi. Upaya yang bisa ditempuh yakni melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dapat dilakukan dengan membudidayakan tanaman pangan nonberas bibit lokal.
Senada dengan Ary Wahyono, Dr Henny Warsilah DEA yang juga peneliti LIPI mengatakan, tidak benar jika masyarakat yang memakan tiwul yang merupakan contoh jenis pangan lokal itu dikatakan berpengaruh pada tingkat pendidikannya tertinggal karena makanan yang dikonsumsinya membuat rendahnya kualitas kesehatan tubuhnya.
Buktinya, dari dua lokasi yang menjadi objek penelitian, malahan tingkat kesehatan mereka lebih baik dan angka harapan hidup mereka lebih tinggi. Sebagian besar masyarakat disana malah lebih banyak yang usianya
lebih dari 80 tahun. “Di kawasan pedesaan terpencil Trenggalek malahan gadisnya cantik-cantik,” katanya.
Hasil penelitian membuktikan sebagian besar masyarakat malah mengatakan bahwa mengkomsumsi tiwul dianggap memberikan kekuatan lebih pada kekuatan fisik. Jika mengkonsumsi tiwul ada semacam rasa ketagihan. Mereka
menyebut bahwa tiwul sudah menjadi candu bagi tubuh, menjadi kebutuhan utama yang tidak dapat digantikan oleh nasi sekalipun. (is)
MANADO – Diversifikasi pangan atau penganekaragaman pangan yang kini menjadi program prioritas mewujudkan ketahanan pangan oleh pemerintah membutuhkan komitmen dan terobosan baru. Agar program tersebut cepat tercapai, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merekomendasikan pada pemerintah untuk membuat bank pangan nonberas.
Peneliti LIPI, Ary Wahyono, Rabu (23/03/11) lalu, dalam Sosialisasi Bank Pangan Non Beras di Kantor Badan Ketahanan Pangan (BKP) Jatim mengatakan, bank pangan nonberas adalah membangun sistem pangan lokal dengan tujuan memperkuat basis bagi terwujudnya kedaulatan pangan desa. Dengan adanya kedaulatan pangan lokal masyarakan dapat menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan diproduksi dan dikonsumsi serta diperdagangkan.
Dikatakannya, ketergantungan masyarakat Indonesia kepada sumber pangan
karbohidrat beras dan gandum/tepung terigu, serta sumber pangan protein hingga saat ini masih sangat besar. Pada tahun 2007 misalnya, impor kelompok pangan dalam bentuk padi-padian mencapai angka 62,2 persen padahal target yang dipatok hanya 50 persen, hal ini melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah. Sementara impor kelompok pangan nonberas, seperti umbi-umbian, baru 3,1 persen dari anjuran 6 persen, sayur serta buah sebesar 5 persen dari anjuran 6 persen.
Membangun sistem pangan lokal diharapkan dapat menyelamatkan sistem cadangan pangan yang pernah berkembang di masyarakat. Pengembangan sistem cadangan lokal dapat menjamin terpenuhinya pangan seluruh warga desa dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu. Khususnya saat terjadi kelangkaan beras atau harga beras naik.
Kebijakan swasembada beras di Indonesia secara perlahan telah mengubah
kebiasaan pangan nonberas menjadi pengan beras. Namun demikian, dari penelitian LIPI pada tahun 2009 di Kabupaten Trenggalek dan Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, menyebutkan tidak semua masyarakat secara serta merta beralih ke pangan beras. Pola konsumsi pangan nonberas merupakan bagian dari kebiasaan sosial masyarakat yang telah terjadi secara turun-menurun.
Masih bertahannya pola konsumsi pangan nonberas juga dipengaruhi tingkat
kemampuan ekonomi masyarakat yang tidak sama. “Tidak semua masyarakat mampu membeli beras, ada sebagian membeli beras untuk bahan campuran,” kataya.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kedaulatan pangan lokal dapat dilakukan melalui peningkatan produksi. Upaya yang bisa ditempuh yakni melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dapat dilakukan dengan membudidayakan tanaman pangan nonberas bibit lokal.
Senada dengan Ary Wahyono, Dr Henny Warsilah DEA yang juga peneliti LIPI mengatakan, tidak benar jika masyarakat yang memakan tiwul yang merupakan contoh jenis pangan lokal itu dikatakan berpengaruh pada tingkat pendidikannya tertinggal karena makanan yang dikonsumsinya membuat rendahnya kualitas kesehatan tubuhnya.
Buktinya, dari dua lokasi yang menjadi objek penelitian, malahan tingkat kesehatan mereka lebih baik dan angka harapan hidup mereka lebih tinggi. Sebagian besar masyarakat disana malah lebih banyak yang usianya
lebih dari 80 tahun. “Di kawasan pedesaan terpencil Trenggalek malahan gadisnya cantik-cantik,” katanya.
Hasil penelitian membuktikan sebagian besar masyarakat malah mengatakan bahwa mengkomsumsi tiwul dianggap memberikan kekuatan lebih pada kekuatan fisik. Jika mengkonsumsi tiwul ada semacam rasa ketagihan. Mereka
menyebut bahwa tiwul sudah menjadi candu bagi tubuh, menjadi kebutuhan utama yang tidak dapat digantikan oleh nasi sekalipun. (is)