Motongkad, BeritaManado.com — Batang Jagung ternyata tidak hanya bermanfaat untuk bahan pengganti kayu bakar, namun juga sebuah kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dengan sentuhan imajinasi dan krreativitas.
Itulah yang dilakukan Kiki Sakul selaku Ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Atoga Timur Kecamatan Motongkad Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dalam kurun waktu enam bulan terakhir, terhitung sejak Oktober 2017 lalu.
Kepada BeritaManado.com, Rabu (7/3/2018) dirinya mengaku mendapatkan ide memanfaatkan limbah batang jagung itu dari Sangadi desa setempat sekembalinya dari kegiatan Bimbingan Teknis di luar daerah pertengahan tahun 2017.
“Pada dasarnya saya dan teman-teman tidak pernah mengikuti kegiatan pelatihan pembuatan kerajinan tangan seperti ini. Kami hanya mencoba menerapkan ide dari Sangadi dan ternyata ini berhasil menarik minat masyarakat untuk membelinya,” katanya.
Rencana kedepan, Kiki masih mengharapkan topangan pemerintah dalam hal pendanaan dan tentu saja keinginan warga masyarakat untuk terlibat dalam proses produksi kerajinan jenis lampion dan yang lainnya.
“Kami tidak akan mendistribusikan produk atau hasil karya ini ke took meubel dan sebagainya. Ini untuk menjaga kestabilan harga barang di pasaran untuk tidak melonjak tinggi. Untuk saat ini karena masih dalam tahap promosi, kami memberikan harga untuk lampion berukuran besar yaitu Rp 250 ribu,” jelasnya.
(Frangki Wullur)
Motongkad, BeritaManado.com — Batang Jagung ternyata tidak hanya bermanfaat untuk bahan pengganti kayu bakar, namun juga sebuah kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dengan sentuhan imajinasi dan krreativitas.
Itulah yang dilakukan Kiki Sakul selaku Ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Atoga Timur Kecamatan Motongkad Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dalam kurun waktu enam bulan terakhir, terhitung sejak Oktober 2017 lalu.
Kepada BeritaManado.com, Rabu (7/3/2018) dirinya mengaku mendapatkan ide memanfaatkan limbah batang jagung itu dari Sangadi desa setempat sekembalinya dari kegiatan Bimbingan Teknis di luar daerah pertengahan tahun 2017.
“Pada dasarnya saya dan teman-teman tidak pernah mengikuti kegiatan pelatihan pembuatan kerajinan tangan seperti ini. Kami hanya mencoba menerapkan ide dari Sangadi dan ternyata ini berhasil menarik minat masyarakat untuk membelinya,” katanya.
Rencana kedepan, Kiki masih mengharapkan topangan pemerintah dalam hal pendanaan dan tentu saja keinginan warga masyarakat untuk terlibat dalam proses produksi kerajinan jenis lampion dan yang lainnya.
“Kami tidak akan mendistribusikan produk atau hasil karya ini ke took meubel dan sebagainya. Ini untuk menjaga kestabilan harga barang di pasaran untuk tidak melonjak tinggi. Untuk saat ini karena masih dalam tahap promosi, kami memberikan harga untuk lampion berukuran besar yaitu Rp 250 ribu,” jelasnya.
(Frangki Wullur)