Dear Novie, memang arti “rakyat” dalam brand KUR ini memiliki kandungan politis yang cukup kental, karena dapat dimaklumi selama ini program-program pemerintah terkait dengan pemberdayaan sektor ekonomi terutama untuk pemberdayaan kelompok UMKM-K ini (d/h hanya UKM belum mengjangkau mikro dan koperasi (separate program)) selalu bersifat jangka pendek. Sustainability dari berbagai program yang diluncurkan oleh pemerintah selalu putus ditengah jalan seiring dengan berakhirnya periode kabinet tersebut. Misalnya program Kredit Kelayakan Usaha (KKU) yang diluncurkan oleh Menteri Keuangan era Pak Mari’e Muhammad, skimnya sangat pro pengusaha mikro dan kecil, mulai dari mekanisme proses yang sangat mudah dan persyaratan yang notabene dapat dikatakan longgar sekali, karena sampai dengan plafon Rp50juta tidak diminta collateral sama sekali. Bahkan syarat dokumen dapat dikatakan sangat minimalis. Kemudian ada program Kredit Usaha Tani, skim mirip-mirip seperti KKU, perbedaannya adalah fokus pembiayaan kepada sektor pertanian seiring dengan program revitalisasi pertanian. Sayangnya kredit program seperti demikian selalu menjadi “amunisi politik” sehingga banyak yang tidak berjalan sesuai dengan tujuannya. Dan juga para penerimanya seperti menerima dana hibah saja, tidak ada goodwill untuk membayar angsurannya, padahal namanya “kredit” evenpun ada embel2 program tetap harus dikembalikan, yang ternyata melampaui 70% portofolio kredit tersebut menjadi NPL.
Sekarang ini yang sedang populer adalah KUR, kredit usaha rakyat, ada embel2 rakyat di buntutnya, yang juga berpotensi mispersepsi di masyarakat. Karena paradigma masyarakat yang mengklaim sebagai pengusaha UMKM-K melihat program KUR ini adalah “gift politik” dari eksekutif yang telah dipilih dan diberikan kesempatan untuk mengendalikan pemerintahan. Padahal skim KUR yang saat ini sedang berjalan tidak diberikan lagi penjaminan 100% oleh pemerintah seperti kredit2 program sebelumnya, hanya 70% saja yang dijamin dan 30%-nya menjadi risiko bank penyalur. Dan peluang bagi perbankan untuk melencengkan penyaluran KUR kepada pengusaha “tertentu” juga sangat riskan karena klaim penjaminan 70% tersebut akan mudah ditrasir oleh pemerintah terkait dengan syarat non bankable dengan bukti SID debitur.
Sebenarnya skim KUR yang sedang berjalan saat ini relatif lebih baik dibandingkan dengan kredit2 program sebelumnya. Karena para pengambil kebijakan telah memiliki pengalaman dan ukuran-ukuran keberhasilan yang dapat dievaluasi dan diukur efektifitasnya, sehingga skim KUR tersebut lebih akuntabel dan terkendali. Buktinya penyaluran KUR secara business to date baru mencapai Rp19 Triliun (sejak launching), padahal target serapannya misalnya untuk 2010 ditetapkan sampai Rp18 Triliun, sehingga pemerintah perlu menambah 13 channel baru melalui BPD terpilih. Dapat disimpulkan bank penyalur masih kesulitan untuk mencari calon debitur yang non bankable namun feasible, untuk segmen mikro relatif mudah didaerah2 yang populasinya tinggi seperti kawasan barat, karena konsentrasi pengusaha non formalnya sanggat tinggi dibandingkan kawasan timur. Sedangkan segmen kecil paling banyak didominasi oleh pergeseran dari segmen mikro, sedangkan menengah bisa terjadi karena pergeseran dari segmen kecil ataupun spin off dari segmen korporasi, sehingga perbankan kesulitan untuk menemukan pengusana yang masuk kriteria non bankable ini. Kecuali pemerintah membijakinya dengan exception untuk kondisi seperti demikian.
Dear Novie, memang arti “rakyat” dalam brand KUR ini memiliki kandungan politis yang cukup kental, karena dapat dimaklumi selama ini program-program pemerintah terkait dengan pemberdayaan sektor ekonomi terutama untuk pemberdayaan kelompok UMKM-K ini (d/h hanya UKM belum mengjangkau mikro dan koperasi (separate program)) selalu bersifat jangka pendek. Sustainability dari berbagai program yang diluncurkan oleh pemerintah selalu putus ditengah jalan seiring dengan berakhirnya periode kabinet tersebut. Misalnya program Kredit Kelayakan Usaha (KKU) yang diluncurkan oleh Menteri Keuangan era Pak Mari’e Muhammad, skimnya sangat pro pengusaha mikro dan kecil, mulai dari mekanisme proses yang sangat mudah dan persyaratan yang notabene dapat dikatakan longgar sekali, karena sampai dengan plafon Rp50juta tidak diminta collateral sama sekali. Bahkan syarat dokumen dapat dikatakan sangat minimalis. Kemudian ada program Kredit Usaha Tani, skim mirip-mirip seperti KKU, perbedaannya adalah fokus pembiayaan kepada sektor pertanian seiring dengan program revitalisasi pertanian. Sayangnya kredit program seperti demikian selalu menjadi “amunisi politik” sehingga banyak yang tidak berjalan sesuai dengan tujuannya. Dan juga para penerimanya seperti menerima dana hibah saja, tidak ada goodwill untuk membayar angsurannya, padahal namanya “kredit” evenpun ada embel2 program tetap harus dikembalikan, yang ternyata melampaui 70% portofolio kredit tersebut menjadi NPL.
Sekarang ini yang sedang populer adalah KUR, kredit usaha rakyat, ada embel2 rakyat di buntutnya, yang juga berpotensi mispersepsi di masyarakat. Karena paradigma masyarakat yang mengklaim sebagai pengusaha UMKM-K melihat program KUR ini adalah “gift politik” dari eksekutif yang telah dipilih dan diberikan kesempatan untuk mengendalikan pemerintahan. Padahal skim KUR yang saat ini sedang berjalan tidak diberikan lagi penjaminan 100% oleh pemerintah seperti kredit2 program sebelumnya, hanya 70% saja yang dijamin dan 30%-nya menjadi risiko bank penyalur. Dan peluang bagi perbankan untuk melencengkan penyaluran KUR kepada pengusaha “tertentu” juga sangat riskan karena klaim penjaminan 70% tersebut akan mudah ditrasir oleh pemerintah terkait dengan syarat non bankable dengan bukti SID debitur.
Sebenarnya skim KUR yang sedang berjalan saat ini relatif lebih baik dibandingkan dengan kredit2 program sebelumnya. Karena para pengambil kebijakan telah memiliki pengalaman dan ukuran-ukuran keberhasilan yang dapat dievaluasi dan diukur efektifitasnya, sehingga skim KUR tersebut lebih akuntabel dan terkendali. Buktinya penyaluran KUR secara business to date baru mencapai Rp19 Triliun (sejak launching), padahal target serapannya misalnya untuk 2010 ditetapkan sampai Rp18 Triliun, sehingga pemerintah perlu menambah 13 channel baru melalui BPD terpilih. Dapat disimpulkan bank penyalur masih kesulitan untuk mencari calon debitur yang non bankable namun feasible, untuk segmen mikro relatif mudah didaerah2 yang populasinya tinggi seperti kawasan barat, karena konsentrasi pengusaha non formalnya sanggat tinggi dibandingkan kawasan timur. Sedangkan segmen kecil paling banyak didominasi oleh pergeseran dari segmen mikro, sedangkan menengah bisa terjadi karena pergeseran dari segmen kecil ataupun spin off dari segmen korporasi, sehingga perbankan kesulitan untuk menemukan pengusana yang masuk kriteria non bankable ini. Kecuali pemerintah membijakinya dengan exception untuk kondisi seperti demikian.