MANADO – Asosiasi petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) meminta pemerintah perlu mendorong pengembangan industri kelapa terpadu sebagai salah satu jalan keluar meningkatkan kesejahteraan petani.
“Sebagian besar petani kelapa Sulut, kondisi ekonomi mereka masih sangat labil, karena hanya bertumpuh pada beberapa produk turunan maka ketika harga turun, petani mengalami kerugian,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulut (Apeksu), George Umpel di Manado, Jumat (15/9).
Kopra, kata George, merupakan salah satu jenis produk turunan yang paling banyak diolah petani, akibatnya ketika harga mengalami penurunan seperti terjadi belakangan ini, petani berteriak rugi, sebab terkesan monokultur.
“Lain halnya bila petani punya banyak pilihan, maka ketika harga kopra misalnya jatuh ke harga termurah, maka petani dapat beralih ke jenis lainnya yang lebih menguntungkan,” kata George.
Ia mengatakan, Sulut harus bisa belajar dari Filipina, di negara tersebut pohon kelapa mampu diolah menjadi sekitar 150 produk turunan, dampaknya sangat positif bagi petani, dan mereka hampir tidak pernah berteriak rugi.
Saat ini, kata dia, harga kopra di Manado turun ke kisaran Rp6.000 per kilogram setelah sebelumnya sempat berada ada kisaran tertinggi Rp 10 ribu per kilogram, maka petani kelapa mengaku tingkat kehidupan keluarga terganggu.
Menurut dia, sudah bertahun-tahun petani kelapa Sulut bergelut pada tanaman ini, tetapi hanya mereka yang memiliki areal luas yang mampu menghidupi kehidupan keluarga, sementara petani kecil menjerit.
Dengan adanya industri kelapa terpadu, kata George, maka petani akan termotivasi menghasilkan produk turunan lebih banyak lagi, dan imbasnya pendapatan mereka secara bertahap akan meningkat.(bus)
MANADO – Asosiasi petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) meminta pemerintah perlu mendorong pengembangan industri kelapa terpadu sebagai salah satu jalan keluar meningkatkan kesejahteraan petani.
“Sebagian besar petani kelapa Sulut, kondisi ekonomi mereka masih sangat labil, karena hanya bertumpuh pada beberapa produk turunan maka ketika harga turun, petani mengalami kerugian,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulut (Apeksu), George Umpel di Manado, Jumat (15/9).
Kopra, kata George, merupakan salah satu jenis produk turunan yang paling banyak diolah petani, akibatnya ketika harga mengalami penurunan seperti terjadi belakangan ini, petani berteriak rugi, sebab terkesan monokultur.
“Lain halnya bila petani punya banyak pilihan, maka ketika harga kopra misalnya jatuh ke harga termurah, maka petani dapat beralih ke jenis lainnya yang lebih menguntungkan,” kata George.
Ia mengatakan, Sulut harus bisa belajar dari Filipina, di negara tersebut pohon kelapa mampu diolah menjadi sekitar 150 produk turunan, dampaknya sangat positif bagi petani, dan mereka hampir tidak pernah berteriak rugi.
Saat ini, kata dia, harga kopra di Manado turun ke kisaran Rp6.000 per kilogram setelah sebelumnya sempat berada ada kisaran tertinggi Rp 10 ribu per kilogram, maka petani kelapa mengaku tingkat kehidupan keluarga terganggu.
Menurut dia, sudah bertahun-tahun petani kelapa Sulut bergelut pada tanaman ini, tetapi hanya mereka yang memiliki areal luas yang mampu menghidupi kehidupan keluarga, sementara petani kecil menjerit.
Dengan adanya industri kelapa terpadu, kata George, maka petani akan termotivasi menghasilkan produk turunan lebih banyak lagi, dan imbasnya pendapatan mereka secara bertahap akan meningkat.(bus)