Manado – Terkait dengan persyaratan ambang batas bagi calon yang hendak mengajukan gugatan harusnya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya memperhatikan syarat formil dalam hal ini selisih suara.
Menurut pengamat politik Dr Ferry Liando, MK diharapkan tetap memperhatikan adanya dugaan pelanggaran terstruktur, sistimatis dan masif dalam sengketa perselisihan hasil Pilkada.
“Ini bentuk kritik terhadap Undang-Undang itu yang sepertinya tidak adil, seperti laporan adanya dugaan money politik, intimidasi, PNS yang terlibat kampanye tidak menjadi dasar dalam penetapan,” jelas Ferry Liando kepada beritamanado.com, Minggu (26/2/2017).
Sebelumnya diberitakan, terkait hasil Pilkada Sangihe dan Pilkada Bolmong, Dr Ferry Liando mengatakan, melihat formulir C.1 sepertinya sulit bagi pasangan calon yang kalah melakukan gugatan.
Sebagaimana pasal 158 UU No 10 thn 2016 bahwa pelayanan gugatan di MK hanya bagi pasangan calon yang kalah memiliki perbedaan selisih suara dengan calon yang menang sebanyak 0,5 hingga 2 persen suara.
Kedua daerah itu (Sangihe dan Bolmong) yang penduduknya hanya dibawah 250 ribu maka syaratnya harus selisih 2 persen.
“Namun aturan ini sesungguhnya mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, sebab ketentuannya hanya melihat selisih suara namun tidak memperhatikan substansi persoalan,” tukas Ferry Liando kepada beritamanado.com, Kamis (23/2/2017).
Lanjut akademisi Unsrat ini, bisa saja selisih suara yang diperoleh sangat lebar namun cara pencapaiannya mungkin dengan cara-cara yang tidak wajar.
“Sepertinya MK akan mengabaikan hal ini sehingga kualitas Pilkada tidak dapat dijamin,” tandas Ferry Liando. (JerryPalohoon)