Manado – Salah-satu kendala dalam proses pelaksanaan kebijakan di daerah karena kuatnya kepentingan politik pada tataran implementatif.
Demikian dijelaskan Dr. Ferry Daud Liando, ketika tampil sebagai tim pakar penyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) inisiatif DPRD Sulut tentang Fakir Miskin dan Anak Terlantar pada pembahasan, Selasa (9/10/2018) siang.
“Contohnya, kebijakan di bidang kemiskinan. Anggaran yang di-plot pemerintah daerah sangat besar dalam mengatasi kemiskinan namun faktanya masalah kemiskinan belum dapat di tuntaskan,” tutur Ferry Liando kepada BeritaManado di sela pembahasan.
Lanjut Ferry Liando, secara kuantitatif angka kemiskinan masyarakat memang bervariasi di sejumlah daerah di Sulut. Ada yang menurun namun ada yang meningkat.
“Namun secara kualitatif banyak penyakit sosial terjadi karena faktor kemiskinan. Banyak anak-anak terlantar, tidak bersekolah, kebutuhan dasar tidak terpenuhi. Efek semua itu adalah kerusuhan, kejahatan atau penyakit sosial lainnya,” jelas Ferry Liando.
Lalu apa yang salah dalam mengelola kebijakan kemiskinan?
Menurut Ferry Liando, kesalahan mengelola ada 3 faktor. Pertama, penyaluran tidak konsisten setiap tahun. Bantuan sosial orang miskin dinaikan setinggi-tingginya hanya pada saat tahun Pilkada.
Kedua, identifikasi penerima tidak jelas. Ada yang melarat tapi tidak menerima, namun ada yang berkecukupan tapi menerima.
Pemicunya adalah ketidakjelasan dalam mengidentifikasi siapa yang berhak dan siapa yg tidak berhak. Ketika diselidiki ternyata petugas pendata atau pencatat hanya memilih-milih orang yang dianggap satu kepentingan politik yang sama.
“Banyak Kades yang nakal, apalagi Kades ini bagian dari tim sukses. Jadi, yang berhak menerima hanya pihak yang memiliki kesamaan pilihan politik,” tandas Ferry Liando.
Ketiga, belum bersinerginya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah provisi dengan kebijakan yg dibuat sebagian pemerintah kabupaten kota. Perbedaan latar belakang politik antara gubernur dan kepala daerah kabupaten kota menjadi salah satu pemicu terjadinya kebijakan yang tidak terpadu.
“Sehingga yang terjadi pemerintah provinsi dan kabupaten kota jalan sendiri dan tumpang tindih kebijakan,” tukas Ferry Liando sambil menyimpulkan penyaluran bantuan untuk fakir miskin sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Rapat dipimpin Ketua Bapemperda DPRD Sulut, Boy Tumiwa, didampingi Ferdinand Mewengkang, Herry Tombeng dan Felly Runtuwene.
Hadir, Kadis Sosial Sulut, dr Rinny Tamuntuan, pihak Lapas, instansi teknis lainnya, LSM, tokoh agama dan masyarakat.
(JerryPalohoon)
Manado – Salah-satu kendala dalam proses pelaksanaan kebijakan di daerah karena kuatnya kepentingan politik pada tataran implementatif.
Demikian dijelaskan Dr. Ferry Daud Liando, ketika tampil sebagai tim pakar penyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) inisiatif DPRD Sulut tentang Fakir Miskin dan Anak Terlantar pada pembahasan, Selasa (9/10/2018) siang.
“Contohnya, kebijakan di bidang kemiskinan. Anggaran yang di-plot pemerintah daerah sangat besar dalam mengatasi kemiskinan namun faktanya masalah kemiskinan belum dapat di tuntaskan,” tutur Ferry Liando kepada BeritaManado di sela pembahasan.
Lanjut Ferry Liando, secara kuantitatif angka kemiskinan masyarakat memang bervariasi di sejumlah daerah di Sulut. Ada yang menurun namun ada yang meningkat.
“Namun secara kualitatif banyak penyakit sosial terjadi karena faktor kemiskinan. Banyak anak-anak terlantar, tidak bersekolah, kebutuhan dasar tidak terpenuhi. Efek semua itu adalah kerusuhan, kejahatan atau penyakit sosial lainnya,” jelas Ferry Liando.
Lalu apa yang salah dalam mengelola kebijakan kemiskinan?
Menurut Ferry Liando, kesalahan mengelola ada 3 faktor. Pertama, penyaluran tidak konsisten setiap tahun. Bantuan sosial orang miskin dinaikan setinggi-tingginya hanya pada saat tahun Pilkada.
Kedua, identifikasi penerima tidak jelas. Ada yang melarat tapi tidak menerima, namun ada yang berkecukupan tapi menerima.
Pemicunya adalah ketidakjelasan dalam mengidentifikasi siapa yang berhak dan siapa yg tidak berhak. Ketika diselidiki ternyata petugas pendata atau pencatat hanya memilih-milih orang yang dianggap satu kepentingan politik yang sama.
“Banyak Kades yang nakal, apalagi Kades ini bagian dari tim sukses. Jadi, yang berhak menerima hanya pihak yang memiliki kesamaan pilihan politik,” tandas Ferry Liando.
Ketiga, belum bersinerginya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah provisi dengan kebijakan yg dibuat sebagian pemerintah kabupaten kota. Perbedaan latar belakang politik antara gubernur dan kepala daerah kabupaten kota menjadi salah satu pemicu terjadinya kebijakan yang tidak terpadu.
“Sehingga yang terjadi pemerintah provinsi dan kabupaten kota jalan sendiri dan tumpang tindih kebijakan,” tukas Ferry Liando sambil menyimpulkan penyaluran bantuan untuk fakir miskin sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Rapat dipimpin Ketua Bapemperda DPRD Sulut, Boy Tumiwa, didampingi Ferdinand Mewengkang, Herry Tombeng dan Felly Runtuwene.
Hadir, Kadis Sosial Sulut, dr Rinny Tamuntuan, pihak Lapas, instansi teknis lainnya, LSM, tokoh agama dan masyarakat.
(JerryPalohoon)