Amurang – Dinas Kehutanan (Dishut) Minahasa Selatan (Minsel) didesak segera sikapi maraknya penebangan liar di hutan liandok. Selain kasus tindak pidana korupsi proyek transmigrasi di Liandok, mirisnya lagi persoalan Liandok sudah merembet pada persoalan perusakan hutan.
Dimana dikabarkan, para transmigran sudah main membabat hutan tanpa mengetahui batas lahan transmigrasi dengan hutan lindung. Berdasarkan pengakuan para transmigran, apa yang mereka lakukan yakni membuka hutan unjuk dijadikan lahan untuk berkebun atas persetujuan dari instansi terkait Dinas Sosial, tenaga kerja dan transmigrasi (Dinsosnakertrans) Minsel.
Agus Prasetyo, transmigran asal DKI Jakarta menyatakan bahwa, setelah sudah empat bulan menempati lokasi transmigran belum juga diberikan lahan berkebun. Itupun mereka disuruh membuka sendiri, tanpa diberikan bantuan.
“Waktu itu kami warga transmigran minta supaya lahan berkebun diberikan segera agar bisa dikerjakan. Baru di permintaan ketiga kami mendapat tanggapan. Dimana oleh pihak dinas menunjuk hutan dibelakang rumah yang bisa kami buka. Tapi memang tidak diberikan batasan-batasan sampai dimana hutan yang boleh kami olah,” aku Prasetyo, sembari menyampaikan tak ada pemberitahuan soal batas membuka lahan perkebunan.
Aktifis lingkungan Minsel Vidy wowor dan Melky Thomas menegaskan soal hutan dialihfungsikan menjadi lahan itu bukan ranah Dinsosnakertrans, melainkan Dinas Kehutanan Minsel yang harus bertanggung jawab.
“Untuk itu, kami minta secepatnya Dinas Kehutanan menyikapi pembabatan hutan yang kian tidak terkontrol, khususnya di hutan liandon,” tukas keduanya, sembari menambahkan hutan liandok sebagai salah satu daerah penyangga air.
Jika tidak terjaga maka ancamanya tanah longsor dan banjir. Menanggapi hal ini, Dinas Kehutanan Minsel menyatakan perambahan hutan yang dilakukan oleh transmigran secara tidak terkontrol, pihaknya meminta tanggung jawab dari Dinsosnakertrans selaku pelaksana proyek. Karena yang ditentukan hanya tapal batas antara lahan transmigran dengan hutan.
“Jadi batas dari lahan transmigran yang seluas 882,2 hektar sudah jelas dan telah dipatok dengan menggunakan tiang beton. Tapi untuk menentukan lahan bagi transmigran itu kewenangan Dinsosnakertrans. Sebab sesuai SK Menhut nomor 434 tahun 2013 wilayah di pegunungan Liandok ini sudah dijadikan APL (Areal Peruntukan Lain, red),” jelas Kepala Dishut Minsel Frans Tilaar. (sanlylendongan)
Amurang – Dinas Kehutanan (Dishut) Minahasa Selatan (Minsel) didesak segera sikapi maraknya penebangan liar di hutan liandok. Selain kasus tindak pidana korupsi proyek transmigrasi di Liandok, mirisnya lagi persoalan Liandok sudah merembet pada persoalan perusakan hutan.
Dimana dikabarkan, para transmigran sudah main membabat hutan tanpa mengetahui batas lahan transmigrasi dengan hutan lindung. Berdasarkan pengakuan para transmigran, apa yang mereka lakukan yakni membuka hutan unjuk dijadikan lahan untuk berkebun atas persetujuan dari instansi terkait Dinas Sosial, tenaga kerja dan transmigrasi (Dinsosnakertrans) Minsel.
Agus Prasetyo, transmigran asal DKI Jakarta menyatakan bahwa, setelah sudah empat bulan menempati lokasi transmigran belum juga diberikan lahan berkebun. Itupun mereka disuruh membuka sendiri, tanpa diberikan bantuan.
“Waktu itu kami warga transmigran minta supaya lahan berkebun diberikan segera agar bisa dikerjakan. Baru di permintaan ketiga kami mendapat tanggapan. Dimana oleh pihak dinas menunjuk hutan dibelakang rumah yang bisa kami buka. Tapi memang tidak diberikan batasan-batasan sampai dimana hutan yang boleh kami olah,” aku Prasetyo, sembari menyampaikan tak ada pemberitahuan soal batas membuka lahan perkebunan.
Aktifis lingkungan Minsel Vidy wowor dan Melky Thomas menegaskan soal hutan dialihfungsikan menjadi lahan itu bukan ranah Dinsosnakertrans, melainkan Dinas Kehutanan Minsel yang harus bertanggung jawab.
“Untuk itu, kami minta secepatnya Dinas Kehutanan menyikapi pembabatan hutan yang kian tidak terkontrol, khususnya di hutan liandon,” tukas keduanya, sembari menambahkan hutan liandok sebagai salah satu daerah penyangga air.
Jika tidak terjaga maka ancamanya tanah longsor dan banjir. Menanggapi hal ini, Dinas Kehutanan Minsel menyatakan perambahan hutan yang dilakukan oleh transmigran secara tidak terkontrol, pihaknya meminta tanggung jawab dari Dinsosnakertrans selaku pelaksana proyek. Karena yang ditentukan hanya tapal batas antara lahan transmigran dengan hutan.
“Jadi batas dari lahan transmigran yang seluas 882,2 hektar sudah jelas dan telah dipatok dengan menggunakan tiang beton. Tapi untuk menentukan lahan bagi transmigran itu kewenangan Dinsosnakertrans. Sebab sesuai SK Menhut nomor 434 tahun 2013 wilayah di pegunungan Liandok ini sudah dijadikan APL (Areal Peruntukan Lain, red),” jelas Kepala Dishut Minsel Frans Tilaar. (sanlylendongan)