Oleh: Frets A Goraph, S.IP., M.IP. (Alumni Unsrat, dan Dosen Universitas Halmahera)
Mengawal demokrasi lokal menjadi tantangan tersendiri karena otonomi daerah memberikan peluang bagi pemimpin lokal yang berdedikasi dan berintegritas maju bertarung menjadi kepala daerah dalam perhelatan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak kurang lebih 269 daerah yang telah melewati proses pendaftaran walaupun masih terjadi negosiasi politik dengan beberapa daerah dan partai politik.
Pada masa kekinian, kehadiran partai politik lokal tidak terlepas dari partai politik di pusat menjadi hantu yang menakutkan bagi bakal calon kepala daerah dan masyarakat.
Pasalnya demi mendapatkan kendaraan partai politik pun, para kandidat telah dipatok harga milyaran rupiah bahkan dijadikan sebagai ajak lelang untuk mendapatkan harga tertinggi, analogi saya partai politik sebagai lintah politik.
Misalkan kasusnya Sebastian Salang di Manggarai, Asmadi Lubis di Toba Samosir, Kabel Saragih di Simalungun, yang berniat maju sebagai calon kepala daerah akhirnya pupus sudah karena tidak mau membayar sejumlah uang milyaran rupiah yang diminta partai politik.
Bayangan saya jika hanya mendapatkan sebuah rekomendasi parpol saja, 1 pasangan calon harus membayar uang milyaran rupiah, bagaimana dengan kurang lebih 827 calon kepala daerah saat ini yang telah mendapat rekomendasi partai politik dan terdaftar di KPU.
Kehadiran parpol hanya untuk mendapatkan Derma politik, Barter politik dan sifatnya sebagai Lintah politik. Tidak malu-malu lagi partai politik menjadi mesin pencari uang merauk keuntungan dari kandidat sehingga budaya partai politik tidak terbantahkan lagi.
Pertanyaan kemudian adalah apakah masih ada partai politik yang sehat dengan menggunakan cara-cara yang sehat pula atau semua partai politik sama adanya mencari keuntungan? Itu artinya kader partai politik pun dijadikan pembantu partai, kambing hitam dan hanya sebagai kasir politik.
Apakah untuk mendapatkan pendapatan keuangan partai politik menggunakan cara-cara seperti ini padahal sumber-sumber keuangan parpol jelas diatur dalam undang-undang.
Partai politik tidak pernah jujur kepada rakyat dan pemerintah, katakan saja bahwa setiap calon kepala daerah yang mau mendapatkan rekomendasi parpol maka wajib memberikan sumbangan uang ke parpol sebagai bentuk tanggungjawab moril kepada kader partai, namun partai politik sifatnya seperti udang, mundur kenah maju kenah.
Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan dari masing-masing Dewan Pimpinan Pusat partai politik sebagai bentuk mendukung semangat UU Nomor 08 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pada pasal 47 menyebutkan tiga bentuk sanksi.
Pertama, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Kedua, terkait dengan pembayaran mahar atau imbalan tersebut, KPU dapat membatalkan penetapan calon kepala daerah.
Ketiga, partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan didenda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Pertanyaan kemudian adalah jika kedapatan ada calon kepala daerah yang membeli rekomendasi partai atau terjadi barter politik maka apakah parpol berani melaporkan kepada KPU, Bawaslu dan pihak yang berwajib.
Menurut saya hal ini menjadi pergumulan bersama dalam membenahi sistem politik demokrasi di tingkat lokal. Potret sekilas proses pencalonan kepala daerah di Sulawesi Utara yang banyak melakukan barter politik dan hal itu sudah menjadi rahasia umum menjelang pilkada dan pileg.
Hampir tidak ada bedanya dengan daerah-daerah lain seperti halnya terjadi di Halmahera Utara meninggalkan cerita tersendiri di masyarakat.
Ada beberapa calon bupati yang tidak mendapat rekomendasi dari DPP, DPD, DPC untuk maju sebagai calon bupati pada pilkada serentak.
Ada pula calon bupati yang mendapatkan rekomendasi partai namun bukan gratis, itu artinya proses barter politik terjadi antara ketua partai dan calon.
Sumber informasi yang penulis dapat dari beberapa pengurus partai politik yang ada di daerah menyatakan bahwa “pada waktu mendaftar dan mengambil formulir saja harus bayar kemudian waktu mengembalikan formulir pun harus membawa derma politik” lalu bagaimana dengan partai politik lainnya.
Beberapa kasus seperti di Manggarai, Toba Samosir, Simalungun dan daerah lainnya yang terjadi mungkin lebih parah lagi dalam hal “Pemberian Derma Politik” yang tidak diungkap KPU dan Bawaslu, ataukah mereka turut menikmati tontonan kasus tersebut walahuwalam ! (bersambung)
Oleh: Frets A Goraph, S.IP., M.IP. (Alumni Unsrat, dan Dosen Universitas Halmahera)
Mengawal demokrasi lokal menjadi tantangan tersendiri karena otonomi daerah memberikan peluang bagi pemimpin lokal yang berdedikasi dan berintegritas maju bertarung menjadi kepala daerah dalam perhelatan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak kurang lebih 269 daerah yang telah melewati proses pendaftaran walaupun masih terjadi negosiasi politik dengan beberapa daerah dan partai politik.
Pada masa kekinian, kehadiran partai politik lokal tidak terlepas dari partai politik di pusat menjadi hantu yang menakutkan bagi bakal calon kepala daerah dan masyarakat.
Pasalnya demi mendapatkan kendaraan partai politik pun, para kandidat telah dipatok harga milyaran rupiah bahkan dijadikan sebagai ajak lelang untuk mendapatkan harga tertinggi, analogi saya partai politik sebagai lintah politik.
Misalkan kasusnya Sebastian Salang di Manggarai, Asmadi Lubis di Toba Samosir, Kabel Saragih di Simalungun, yang berniat maju sebagai calon kepala daerah akhirnya pupus sudah karena tidak mau membayar sejumlah uang milyaran rupiah yang diminta partai politik.
Bayangan saya jika hanya mendapatkan sebuah rekomendasi parpol saja, 1 pasangan calon harus membayar uang milyaran rupiah, bagaimana dengan kurang lebih 827 calon kepala daerah saat ini yang telah mendapat rekomendasi partai politik dan terdaftar di KPU.
Kehadiran parpol hanya untuk mendapatkan Derma politik, Barter politik dan sifatnya sebagai Lintah politik. Tidak malu-malu lagi partai politik menjadi mesin pencari uang merauk keuntungan dari kandidat sehingga budaya partai politik tidak terbantahkan lagi.
Pertanyaan kemudian adalah apakah masih ada partai politik yang sehat dengan menggunakan cara-cara yang sehat pula atau semua partai politik sama adanya mencari keuntungan? Itu artinya kader partai politik pun dijadikan pembantu partai, kambing hitam dan hanya sebagai kasir politik.
Apakah untuk mendapatkan pendapatan keuangan partai politik menggunakan cara-cara seperti ini padahal sumber-sumber keuangan parpol jelas diatur dalam undang-undang.
Partai politik tidak pernah jujur kepada rakyat dan pemerintah, katakan saja bahwa setiap calon kepala daerah yang mau mendapatkan rekomendasi parpol maka wajib memberikan sumbangan uang ke parpol sebagai bentuk tanggungjawab moril kepada kader partai, namun partai politik sifatnya seperti udang, mundur kenah maju kenah.
Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan dari masing-masing Dewan Pimpinan Pusat partai politik sebagai bentuk mendukung semangat UU Nomor 08 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pada pasal 47 menyebutkan tiga bentuk sanksi.
Pertama, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Kedua, terkait dengan pembayaran mahar atau imbalan tersebut, KPU dapat membatalkan penetapan calon kepala daerah.
Ketiga, partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan didenda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Pertanyaan kemudian adalah jika kedapatan ada calon kepala daerah yang membeli rekomendasi partai atau terjadi barter politik maka apakah parpol berani melaporkan kepada KPU, Bawaslu dan pihak yang berwajib.
Menurut saya hal ini menjadi pergumulan bersama dalam membenahi sistem politik demokrasi di tingkat lokal. Potret sekilas proses pencalonan kepala daerah di Sulawesi Utara yang banyak melakukan barter politik dan hal itu sudah menjadi rahasia umum menjelang pilkada dan pileg.
Hampir tidak ada bedanya dengan daerah-daerah lain seperti halnya terjadi di Halmahera Utara meninggalkan cerita tersendiri di masyarakat.
Ada beberapa calon bupati yang tidak mendapat rekomendasi dari DPP, DPD, DPC untuk maju sebagai calon bupati pada pilkada serentak.
Ada pula calon bupati yang mendapatkan rekomendasi partai namun bukan gratis, itu artinya proses barter politik terjadi antara ketua partai dan calon.
Sumber informasi yang penulis dapat dari beberapa pengurus partai politik yang ada di daerah menyatakan bahwa “pada waktu mendaftar dan mengambil formulir saja harus bayar kemudian waktu mengembalikan formulir pun harus membawa derma politik” lalu bagaimana dengan partai politik lainnya.
Beberapa kasus seperti di Manggarai, Toba Samosir, Simalungun dan daerah lainnya yang terjadi mungkin lebih parah lagi dalam hal “Pemberian Derma Politik” yang tidak diungkap KPU dan Bawaslu, ataukah mereka turut menikmati tontonan kasus tersebut walahuwalam ! (bersambung)