Politik Pemilihan Umum di Minahasa dan Indonesia pada umumnya masih berkutat pada proses dan property politik itu sendiri. Belum mengutamakan muatan ideologi seperti, gagasan, visi, konsep, dan cita-cita masa depan.
Politik Pilkada misalnya, baik rakyat pemilih maupun kontestan masih disibukan dengan aksi-aksi pencitraan diri kandidat dan partai pengusung.
Tim sukses dan kandidat membuang lebih banyak tenaga dan waktunya pada soal-soal pragmatis seperti atribut, pengerahan massa, serimoni-serimoni kampanye pencitraan kandidat. Dalam Pilkada nafas demokrasi politik tersumbat oleh dekorasi politik.
Momentum kampanye pun masih sangat mengutamakan pamer “kemasan” sang kandidat, juga pamer jumlah massa pendukung. Berkumpul, menyanyi dan berjoget, seperti pesta pora yang tidak jelas siapa sesungguhnya tuan pesta.
Baik kontestan, rakyat pemilih, partai pendukung masih harus dikawal-kawal dengan ketentuan Pemilu. Penyelenggara dan Pengawas masih harus bekerja ekstra mengawal ketersediaan spirit kualitas dan integritas pemilihan umum. Rakyat dan partai dipandang masih sangat miskin kesadaran dan pemahaman politik dan demokrasi yang benar.
Lebih konyol lagi, Politik Pemilu menjadi sedemikian pragmatis sebagai momentum temporer. Maka di kalangan rakyat sendiri sudah terbangun stigma politik uang, ada uang ada suara. Padahal Pemilu sesungguhnya adalah titik penting dari sebuah jalan sejarah dan masa depan bangsa, masa depan rakyat.
Pemilihan Umum sendiri secara prinsip ibarat Ujian Kelulusan Sekolah yang menentukan perjalanan cita-cita selanjutnya. Tetapi faktanya, Pemilu sendiri hanya dijadikan seperti tontonan pertandingan tinju gratis yang penuh sorak sorai dengan sedikit layanan politik uang. Jika ini dibiarkan terus, politik hanya akan menyesatkan.
Barangkali kita mulai lupa, atau memang tidak tahu, atau juga tidak diberi tahu; bahwa politik hakekatnya adalah soal ideologi, soal idea-idea, soal cita-cita, soal gagasan-gagasan, soal kebijaksanaan, soal kekinian demi masa depan bersama.
Faktanya, proses kontestasi politik Pilkada di Minahasa masih sangat miskin gagasan, miskin cita-cita, miskin idea, miskin kajian, miskin ideologi. Semua hal penting itu, hanya muncul sebagai hiasan atau aksesori yang kemudian ditanggalkan di tepi jalan.
Komunikasi politik antara rakyat pemilih dengan kontestan dan partai tak ubahnya acara konser musik. Pesan-pesan dalam kampanye ibarat simphoni yang dinikmati sesaat kemudian lenyap.
Kenyataannya memang Pemilu Pilkada belum diisi kesepakatan-kesepakatan politik antara kontestan dengan rakyat pemilih tentang pencapaian masa depan. Kedaulatan rakyat yang adalah alasan utama Pemilu terabaikan (jika tidak mau dikatakan tergadaikan) oleh kepongahan praktik-praktik politik pragmatis serakah.
Tidak ada jalan lain, sembari membangun kesadaran ideologi kedaulatan rakyat, semua perangkat politik (rakyat, politisi, partai, penyelenggara, pemerintah) tetap dipanggil bertanggung-jawab untuk menjadikan semua Pemilu tidak hanya sukses dalam proses, tetapi juga sukses tujuan.
Semua kita dipanggil tidak sekedar berkontestasi merebut atau mempertahankan kekuasaan, tetapi berkewajiban membangun kesepakatan-kesepakatan moral politik bangsa. Kita meyakini bahwa kekuasaan bukanlah kepemilikan property politik individu atau kelompok tertentu
Kekuasaan adalah, amanat moral rakyat.
JOPPIE H.E. WOREK
Politik Pemilihan Umum di Minahasa dan Indonesia pada umumnya masih berkutat pada proses dan property politik itu sendiri. Belum mengutamakan muatan ideologi seperti, gagasan, visi, konsep, dan cita-cita masa depan.
Politik Pilkada misalnya, baik rakyat pemilih maupun kontestan masih disibukan dengan aksi-aksi pencitraan diri kandidat dan partai pengusung.
Tim sukses dan kandidat membuang lebih banyak tenaga dan waktunya pada soal-soal pragmatis seperti atribut, pengerahan massa, serimoni-serimoni kampanye pencitraan kandidat. Dalam Pilkada nafas demokrasi politik tersumbat oleh dekorasi politik.
Momentum kampanye pun masih sangat mengutamakan pamer “kemasan” sang kandidat, juga pamer jumlah massa pendukung. Berkumpul, menyanyi dan berjoget, seperti pesta pora yang tidak jelas siapa sesungguhnya tuan pesta.
Baik kontestan, rakyat pemilih, partai pendukung masih harus dikawal-kawal dengan ketentuan Pemilu. Penyelenggara dan Pengawas masih harus bekerja ekstra mengawal ketersediaan spirit kualitas dan integritas pemilihan umum. Rakyat dan partai dipandang masih sangat miskin kesadaran dan pemahaman politik dan demokrasi yang benar.
Lebih konyol lagi, Politik Pemilu menjadi sedemikian pragmatis sebagai momentum temporer. Maka di kalangan rakyat sendiri sudah terbangun stigma politik uang, ada uang ada suara. Padahal Pemilu sesungguhnya adalah titik penting dari sebuah jalan sejarah dan masa depan bangsa, masa depan rakyat.
Pemilihan Umum sendiri secara prinsip ibarat Ujian Kelulusan Sekolah yang menentukan perjalanan cita-cita selanjutnya. Tetapi faktanya, Pemilu sendiri hanya dijadikan seperti tontonan pertandingan tinju gratis yang penuh sorak sorai dengan sedikit layanan politik uang. Jika ini dibiarkan terus, politik hanya akan menyesatkan.
Barangkali kita mulai lupa, atau memang tidak tahu, atau juga tidak diberi tahu; bahwa politik hakekatnya adalah soal ideologi, soal idea-idea, soal cita-cita, soal gagasan-gagasan, soal kebijaksanaan, soal kekinian demi masa depan bersama.
Faktanya, proses kontestasi politik Pilkada di Minahasa masih sangat miskin gagasan, miskin cita-cita, miskin idea, miskin kajian, miskin ideologi. Semua hal penting itu, hanya muncul sebagai hiasan atau aksesori yang kemudian ditanggalkan di tepi jalan.
Komunikasi politik antara rakyat pemilih dengan kontestan dan partai tak ubahnya acara konser musik. Pesan-pesan dalam kampanye ibarat simphoni yang dinikmati sesaat kemudian lenyap.
Kenyataannya memang Pemilu Pilkada belum diisi kesepakatan-kesepakatan politik antara kontestan dengan rakyat pemilih tentang pencapaian masa depan. Kedaulatan rakyat yang adalah alasan utama Pemilu terabaikan (jika tidak mau dikatakan tergadaikan) oleh kepongahan praktik-praktik politik pragmatis serakah.
Tidak ada jalan lain, sembari membangun kesadaran ideologi kedaulatan rakyat, semua perangkat politik (rakyat, politisi, partai, penyelenggara, pemerintah) tetap dipanggil bertanggung-jawab untuk menjadikan semua Pemilu tidak hanya sukses dalam proses, tetapi juga sukses tujuan.
Semua kita dipanggil tidak sekedar berkontestasi merebut atau mempertahankan kekuasaan, tetapi berkewajiban membangun kesepakatan-kesepakatan moral politik bangsa. Kita meyakini bahwa kekuasaan bukanlah kepemilikan property politik individu atau kelompok tertentu
Kekuasaan adalah, amanat moral rakyat.
JOPPIE H.E. WOREK