Tompaso, BeritaManado.com — Harapan untuk memasukkan bahasa daerah kedalam muata lokal di sekolah-sekolah yang telah diupayakan pemerintah sejak lama hingga kini belum membuahkan hasil yang memuaskan, karena setiap langkah yang diambil selalu kandas ditengah jalan.
Hal itulah yang disadari Irjen Pol (Purn) Benny J Mamoto sebagaimana diungkapkan kepada BeritaManado.com saat diwawancarai di kediamannya, Selasa (11/9/2018).
Menurut Mamoto bahwa tidak adanya bahan ajar dan tenaga pengajar itu sendiri adalah masalah yang ditemui di seluruh daerah di Sulawesi Utara.
“Hal itu saya temui saat bertanya pada beberapa sekolah di seluruh daerah di Sulut yang saya kunjungi. Ketika saya bertanya kepada pihak sekolah kenapa bahasa daerah itu sepertinya sangat sulit untuk jadi muata lokal pendidikan di sekolah. Jawaban para guru sederhana saja yaitu tidak ada bahan dan gurunya. Jika demikian kenyataannya, maka tidak perlu harus menunggu campur tangan dari pihak lain,” kata Mamoto.
Dijelaskannya, berdasarkan kenyataan itulah Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara membuat terobosan melakukan penyusunan kamus bahasa daerah dengan melibatkan tokoh budaya dari Sembilan sub etnis yang ada di Minahasa.
Dengan kata lain apa yang dilakukan dimulai dari bawah kemudian keatas atau dikenal dengan istilah Bottom-Up, sehingga ketika nanti ada yang bertanya mengenai ketersediaan bahan, maka dengan mudah bisa diberikan.
“Sampai sekarang ini baru beberapa bahasa yang berhasil disatukan dalam kamus. Yang terkini yaitu kamus bahasa Pasan Ratahan. Kedepan akan dilanjutkan dengan penyusunan kamus bahasa dari sub etnis lain seperti Tonsawang. Mumpung para tokoh budaya masih ada yang bisa dimintai keterangan, maka itu harus dimanfaatkan,” tandasnya.
Jika jumlah kosa kata dalam kamus sudah dirasa cukup, maka proses selanjutnya yaitu pencetakan yang dilakukan oleh pihak Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Setelah itu dikembalikan kepada para tokoh budaya dan bisa disebarkan kepada masyarakat.
“Jadi menurut saya solusinya adalah diawali dulu dengan kesadaran bahwa bahasa daerah itu punya nilai budaya yang sangat tinggi dan penting. Jika kita sudah sadar, maka pasti dengan sendirnya akan mendorongnya melakukan hal-hal yang diharapkan untuk pelestarian bahasa daerah itu sendiri. Selanjutnya tinggal porsi pemerintah melakukan perekrutan guru bahasa daerah dan dilegalkan dengan status honor atau istilah lainnya,” tutup Mamoto.
(Frangki Wullur)
Tompaso, BeritaManado.com — Harapan untuk memasukkan bahasa daerah kedalam muata lokal di sekolah-sekolah yang telah diupayakan pemerintah sejak lama hingga kini belum membuahkan hasil yang memuaskan, karena setiap langkah yang diambil selalu kandas ditengah jalan.
Hal itulah yang disadari Irjen Pol (Purn) Benny J Mamoto sebagaimana diungkapkan kepada BeritaManado.com saat diwawancarai di kediamannya, Selasa (11/9/2018).
Menurut Mamoto bahwa tidak adanya bahan ajar dan tenaga pengajar itu sendiri adalah masalah yang ditemui di seluruh daerah di Sulawesi Utara.
“Hal itu saya temui saat bertanya pada beberapa sekolah di seluruh daerah di Sulut yang saya kunjungi. Ketika saya bertanya kepada pihak sekolah kenapa bahasa daerah itu sepertinya sangat sulit untuk jadi muata lokal pendidikan di sekolah. Jawaban para guru sederhana saja yaitu tidak ada bahan dan gurunya. Jika demikian kenyataannya, maka tidak perlu harus menunggu campur tangan dari pihak lain,” kata Mamoto.
Dijelaskannya, berdasarkan kenyataan itulah Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara membuat terobosan melakukan penyusunan kamus bahasa daerah dengan melibatkan tokoh budaya dari Sembilan sub etnis yang ada di Minahasa.
Dengan kata lain apa yang dilakukan dimulai dari bawah kemudian keatas atau dikenal dengan istilah Bottom-Up, sehingga ketika nanti ada yang bertanya mengenai ketersediaan bahan, maka dengan mudah bisa diberikan.
“Sampai sekarang ini baru beberapa bahasa yang berhasil disatukan dalam kamus. Yang terkini yaitu kamus bahasa Pasan Ratahan. Kedepan akan dilanjutkan dengan penyusunan kamus bahasa dari sub etnis lain seperti Tonsawang. Mumpung para tokoh budaya masih ada yang bisa dimintai keterangan, maka itu harus dimanfaatkan,” tandasnya.
Jika jumlah kosa kata dalam kamus sudah dirasa cukup, maka proses selanjutnya yaitu pencetakan yang dilakukan oleh pihak Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Setelah itu dikembalikan kepada para tokoh budaya dan bisa disebarkan kepada masyarakat.
“Jadi menurut saya solusinya adalah diawali dulu dengan kesadaran bahwa bahasa daerah itu punya nilai budaya yang sangat tinggi dan penting. Jika kita sudah sadar, maka pasti dengan sendirnya akan mendorongnya melakukan hal-hal yang diharapkan untuk pelestarian bahasa daerah itu sendiri. Selanjutnya tinggal porsi pemerintah melakukan perekrutan guru bahasa daerah dan dilegalkan dengan status honor atau istilah lainnya,” tutup Mamoto.
(Frangki Wullur)