Langowan – Pernah melihat itik dan ayam mengerami telurnya masing-masing? Tentu hal itu sudah biasa. Namun bagaimana jika ayam yang mengerami telur itik, itu baru luar biasa. Bagi masyarakat Kota Langowan khususnya kalangan peernak itik ternyata sudah biasa melakukan hal tersebut. Seperti yang pernah dilakukan Jootje Ticoalu, warga Desa Wolaang.
Waktu yang diperlukan seekor ayam dalam mengerami telur itik sama dengan cara menggunakan mesin penetas yaitu selama 28 hari. Namun menurut pengalamannya, pada hari ke-25, biasanya sudah ada beberapa telur itik yang menetas. Sedangkan jika sudah 29 hari lebih tidak menetas, berarti telur tersebut tidak mengalami perkembangan embrio/mati.
Menurutnya, teknik budidaya dengan cara tradisional tersebut dilakukan lantaran keterbatasan biaya membuat atau membeli mesin penetas telur yang lebih modern dan bisa menampug dengan jumlah banyak. Meski tingkat keberhasilan mendekati dan bahkan ada yang mencapai 100 %, namun dari segi jumlah, cara tersebut masih kalah jauh dengan cara modern.
“Saya sering melakukan teknik budidaya itik dengan cara demikian. Akan tetapi setelah punya modal yang cukup, saya membuat empat buah mesin penetas telur itiik, dimana untuk satu buah mesin peneas terdiri dari dua box. Dengan demikian itu sama dengan memiliki delapan mesin tetas. (frangkiwullur)
Langowan – Pernah melihat itik dan ayam mengerami telurnya masing-masing? Tentu hal itu sudah biasa. Namun bagaimana jika ayam yang mengerami telur itik, itu baru luar biasa. Bagi masyarakat Kota Langowan khususnya kalangan peernak itik ternyata sudah biasa melakukan hal tersebut. Seperti yang pernah dilakukan Jootje Ticoalu, warga Desa Wolaang.
Waktu yang diperlukan seekor ayam dalam mengerami telur itik sama dengan cara menggunakan mesin penetas yaitu selama 28 hari. Namun menurut pengalamannya, pada hari ke-25, biasanya sudah ada beberapa telur itik yang menetas. Sedangkan jika sudah 29 hari lebih tidak menetas, berarti telur tersebut tidak mengalami perkembangan embrio/mati.
Menurutnya, teknik budidaya dengan cara tradisional tersebut dilakukan lantaran keterbatasan biaya membuat atau membeli mesin penetas telur yang lebih modern dan bisa menampug dengan jumlah banyak. Meski tingkat keberhasilan mendekati dan bahkan ada yang mencapai 100 %, namun dari segi jumlah, cara tersebut masih kalah jauh dengan cara modern.
“Saya sering melakukan teknik budidaya itik dengan cara demikian. Akan tetapi setelah punya modal yang cukup, saya membuat empat buah mesin penetas telur itiik, dimana untuk satu buah mesin peneas terdiri dari dua box. Dengan demikian itu sama dengan memiliki delapan mesin tetas. (frangkiwullur)